Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
TEMPO.CO, Jakarta – Pengamat hukum dari Sekolah Tinggi Hukum Indonesia Jentera, Bivitri Susanti, mengatakan pasal penghinaan presiden yang disepakati menjadi delik umum dalam Rancangan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (RKUHP), bisa menimbulkan kegaduhan.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Bivitri menjelaskan, dengan disepakati sebagai delik umum, setiap orang bisa mengadukan seseorang yang dianggap menghina presiden.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
"Kalau kita dengar, 'wah ngaco nih ngejelek-jelekin'. Jadi gaduh sekali," kata Bivitri di STHI Jentera, Jakarta Selatan pada Jumat 9 Februari 2018.
Menurut Bivitri, tak ada tafsir dan batasan yang jelas mengenai penghinaan. Apalagi, kata dia, zaman sekarang muncul meme atau gambar viral di media sosial. Selain itu, banyak juga orang yang asal dalam berkomentar di dunia maya.
"Kan, jadi bahaya. Jadi nanti akan sulit dibedakan antara kritik dan menghina," ujarnya.
Bivitri menuturkan, masuknya pasal penghinaan terhadap presiden dalam RKUHP juga merupakan kesalahan para legislator. Sebab, putusan Mahkamah Agung telah membatalkan pasal serupa ketika mengabulkan uji materi terhadap KUHP pada 2006.
Pasal penghinaan presiden, kata Bivitri, juga tak relevan diterapkan di Indonesia yang bukan negara kerajaan. Sebab presiden bukan termasuk lambang negara.
"Presiden itu dalam sebuah negara hukum modern, kita pakai sistem presidensil. Maka dia adalah kepala negara sekaligus kepala pemerintahan, tapi bukan simbol negara," ucapnya.
Tim perumus Rancangan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana atau RKUHP Pemerintah dan Dewan Perwakilan Rakyat menyepakati pasal 239 tentang penghinaan terhadap presiden dan wakil presiden tetap ada. Pasal penghinaan presiden ini disepakati sebagai delik umum dalam RKUHP.