Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Keputusan yang ditunggu-tunggu itu turun juga. Presiden Joko Widodo mengumumkan bahwa Kementerian Dalam Negeri telah membatalkan 3.143 peraturan daerah yang bermasalah. Ribuan aturan menyangkut investasi, pajak, atau retribusi ini bukannya memperlancar jalannya birokrasi, melainkan malah menghambat.
Terobosan pemerintah semestinya tak berhenti di sini saja. Yang lebih penting adalah mengawasi bagaimana keputusan itu dijalankan. Harus dipastikan pembatalan itu tak cuma di atas kertas, tapi betul-betul terlaksana di daerah.
Banyaknya perda bermasalah sudah lama menjadi keluhan. Para investor mempersoalkan betapa berbelit dan rumitnya perizinan. Regulasi yang semestinya mempermudah proses investasi malah menjadi penjerat. Tak mengherankan jika Indonesia menjadi salah satu negara terburuk untuk kategori kemudahan berinvestasi. Tahun ini, Bank Dunia menempatkan Indonesia di posisi ke-109 dari 189 negara untuk kategori "ease of doing business".
Membabat perda bermasalah memang tak otomatis mengundang investor datang berbondong-bondong. Banyak faktor lain yang harus ikut diperhatikan. Misalnya, soal kepastian hukum di tingkat nasional, pungutan liar, atau tingginya upah buruh. Namun penghapusan perda-perda itu tetap penting. Ini tak hanya menjadi pembuka jalan bagi kemudahan berinvestasi, tapi juga sekaligus menjadi pesan kuat bahwa pemerintah serius menghapus semua aturan yang merugikan dunia usaha.
Tentu harus dicatat, upaya serupa pernah dilakukan pemerintahan sebelumnya. Lembaga swadaya masyarakat Setara Institut mencatat, pada periode 2002-2009, ada 2.246 perda yang dicabut. Lalu, pada 2010-2014, sebanyak 1.502 perda sejenis dianulir. Terakhir, sudah di masa Jokowi, pada November 2014 hingga Mei 2015, sebanyak 139 perda bernasib serupa.
Jika begitu banyak perda telah dibatalkan tapi sekarang pencabutan kembali dilakukan, kita patut bertanya: mengapa perda-perda aneh itu terus bermunculan, seolah patah tumbuh hilang berganti?
Ada dua kemungkinan mengapa hal ini bisa terjadi. Pertama, terbatasnya pengawasan terhadap proses pembuatan perda. Perda yang disusun oleh DPRD dan kepala daerah setempat sering tak melibatkan khalayak terkait dalam penyusunannya. Jarang terdengar penyusunan perda di daerah dilakukan dengan memanggil masyarakat untuk ikut memberi pendapat.
Sebab kedua, lemahnya pengawasan oleh pemerintah pusat. Pemerintah pusat punya kewenangan executive review untuk memastikan apakah sebuah perda tidak bertentangan dengan aturan yang lebih tinggi.
Kewenangan ini semestinya lebih sering digunakan untuk mengawasi secara rutin perda yang terbit di daerah. Kementerian Dalam Negeri tak perlu menunggu lama untuk membatalkan perda yang tidak layak. Untuk ini, sistem pengawasan di Kementerian Dalam Negeri perlu ditingkatkan.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini