Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Kolom

Babak Baru Perampasan Tanah Masyarakat oleh Negara

Tiga calon wakil presiden memaparkan rencana program mereka dalam menangani konflik agraria sekaligus menyelesaikan reforma agraria. Aturan baru yang dibuat pemerintah justru berisiko menambah daftar konflik agraria. 

23 Januari 2024 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Poin penting

  • Dalam debat calon wakil presiden, Ahad lalu, ketiga calon memaparkan visi dan misi mereka dalam menangani konflik agraria.

  • Pemerintahan Presiden Joko Widodo baru menerbitkan Peraturan Presiden Nomor 78 Tahun 2023 yang memperkuat wewenang pemerintah merampas tanah masyarakat.

  • Posisi masyarakat adat kian rentan dengan terbitnya Peraturan Presiden Nomor 78 Tahun 2023 pada Desember lalu.

Antoni Putra

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Alumnus Pascasarjana Fakultas Hukum Universitas Indonesia

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Debat calon wakil presiden pada Ahad, 21 Januari 2024, sedikit memperlihatkan bagaimana tiga calon wakil presiden yang akan bertarung dalam Pemilihan Umum 2024 menyikapi persoalan konflik agraria dan strategi mereka menuntaskan reforma agraria. Ketiga cawapres tersebut, Muhaimin Iskandar, Gibran Rakabuming Raka, dan Mahfud Md., mengutarakan sejumlah gagasan mereka untuk mengatasi masalah konflik lahan yang justru kian sering terjadi pada era pemerintahan Presiden Joko Widodo.  

Muhaimin Iskandar, yang berpasangan dengan calon presiden Anies Baswedan sebagai pasangan nomor urut 1, misalnya, memaparkan rencana mereka membentuk lembaga khusus untuk mengelola reformasi agraria jika terpilih nanti. Menurut dia, selama ini birokrasi, kesungguhan politik, dan kemauan kepemimpinan menjadi kendala utama dalam pelaksanaan reformasi agraria. 

Adapun Gibran Rakabuming Raka, yang menjadi calon wakil presiden bagi Prabowo Subianto, mengedepankan skema digitalisasi dalam upaya penyelesaian masalah pertanahan, seperti mafia tanah dan konflik lahan. Salah satu yang diusulkan cawapres nomor urut 2 ini adalah konsep one map policy, yakni kebijakan penyatuan seluruh informasi peta di berbagai sektor secara integratif. Menurut putra sulung Jokowi ini, digitalisasi akan mengurangi mafia tanah.

Sementara itu, cawapres nomor urut 3, Mahfud Md., yang berpasangan dengan Ganjar Pranowo, menawarkan solusi yang mirip dengan rencana Anies-Muhaimin. Mahfud, yang kini menjabat Menteri Koordinator Politik, Hukum, dan Keamanan, juga ingin menghadirkan lembaga khusus untuk menyelesaikan konflik agraria. Pembentukan lembaga ini merupakan bagian dari visi-misi Ganjar-Mahfud dalam mendorong penuntasan reforma agraria, yang mencakup penataan alokasi lahan dan redistribusi serta legalisasi tanah yang bebas mafia.  

Meski ketiga pasangan capres-cawapres tersebut sudah memaparkan rencana mereka untuk mengatasi konflik lahan sekaligus menuntaskan reforma agraria, pada implementasinya nanti, siapa pun yang terpilih akan menghadapi tantangan besar. Akar persoalannya berada pada sisi regulasi yang justru dibuat pada masa pemerintahan Jokowi.

Pada 8 Desember 2023, pemerintah menerbitkan Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 78 Tahun 2023 tentang perubahan Perpres Nomor 62 Tahun 2018 yang mengatur teknis penanganan dampak sosial kemasyarakatan dalam rangka penyediaan tanah untuk pembangunan nasional. Perpres baru ini menambah dua pasal baru dan merevisi enam pasal.

Dari segi substansi, Perpres Nomor 78 Tahun 2023 memperluas ruang lingkup proyek yang masuk dalam kategori pembangunan nasional. Sementara Perpres Nomor 56 Tahun 2017 spesifik ditujukan untuk proyek strategis nasional (PSN), kebijakan terbaru ini justru diperluas untuk kepentingan proyek-proyek di luar daftar PSN.

Selanjutnya, melalui Perpres Nomor 78 Tahun 2023 ini, pemerintah, dengan mengatasnamakan negara, juga bisa dengan leluasa mengambil alih tanah demi kepentingan proyek nasional. Bahkan, bila masyarakat ingin mempertahankan haknya, beban pembuktian diberikan kepada masyarakat, yakni dengan cara membuktikan keberadaan hak kepemilikan dan mendapat pengakuan dari pemerintah tingkat provinsi. Aturan ini memang menjamin adanya kompensasi berupa uang dan/atau permukiman kembali kepada masyarakat yang tanahnya diambil pemerintah. Namun hal itu tidak menutupi fakta bahwa regulasi tersebut membenarkan tindakan pemerintah dalam memindahkan paksa masyarakat, terutama masyarakat hukum adat, dari tanah leluhurnya.

Dari segi konstitusi, perpres itu bertentangan dengan dua putusan Mahkamah Konstitusi, yakni Putusan Nomor 001-021-022/PUU-I/2003 dan Putusan Nomor 3/PUU/2010. Putusan pertama menyatakan bahwa "hak menguasai negara" seharusnya diartikan sebagai penguasaan oleh negara dalam arti luas, yang bersumber dan berasal dari konsepsi kedaulatan rakyat atas segala sumber kekayaan bumi dan air serta kekayaan alam yang terkandung di dalamnya. Bila merujuk pada putusan MK tersebut, tentu penerbitan Perpres Nomor 78 Tahun 2023 malah makin menjauhkan konsep kedaulatan rakyat dalam pengelolaan sumber daya alam, terutama dalam hal penguasaan hak atas tanah. 

Selanjutnya Putusan MK Nomor 3/PUU/2010 memberi penegasan tentang tolok ukur frasa “sebesar-besarnya untuk kemakmuran rakyat” yang terdapat dalam konstitusi. MK, melalui putusan tersebut, memberikan setidaknya empat prasyarat. Pertama, pemanfaatan sumber daya alam bagi rakyat; kedua, tingkat pemerataan manfaat sumber daya alam; ketiga, tingkat partisipasi rakyat dalam menentukan manfaat sumber daya alam; dan keempat, penghormatan terhadap hak rakyat secara turun-temurun dalam memanfaatkan sumber daya alam. 

Dalam hal penerbitan Perpres 78 Tahun 2023, pemerintah justru seolah-olah tak mempertimbangkan keempat prasyarat tersebut. Alih-alih mengakomodasi, dalam peraturan tersebut pemerintah hanya menangkap partisipasi dan keinginan investasi, bukan keinginan masyarakat. Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi) bahkan menilai peraturan tersebut ke depannya malah akan mempermudah penggusuran masyarakat adat dari tempat tinggal mereka. Sementara itu, Konsorsium Pembaruan Agraria (KPA) menilai, di balik judulnya yang humanis, perpres ini berorientasi untuk menghapus hak dasar rakyat atas tanah yang telah dijamin konstitusi dan Undang-Undang Pokok Agraria Tahun 1960.

Terbitnya perpres ini mempertegas posisi pemerintah yang makin tidak berpihak kepada masyarakat. Upaya mengedepankan meaningful participation dalam proses pembentukan regulasi benar-benar tidak pernah terjadi, sekalipun MK telah memberi penegasan bahwa partisipasi masyarakat merupakan unsur penting dalam pembentukan peraturan perundang-undangan.

Berlakunya perpres ini tentu berpotensi memperpanjang daftar konflik agraria yang disebabkan oleh PSN, yang hingga kini jumlahnya sudah di luar angka wajar. Dalam rentang waktu 2015-2023, KPA mencatat setidaknya ada 73 konflik agraria akibat PSN yang terjadi di semua sektor pembangunan. Konflik ini merata, baik di sektor infrastruktur, pembangunan properti, pertanian, agrobisnis, pesisir, maupun pertambangan.

Di sektor infrastruktur saja, daftar konfliknya terus bertambah. Dari pembangunan Sirkuit Mandalika, Nusa Tenggara Barat; penambangan batu andesit di Wadas, Jawa Tengah, untuk Bendungan Bener; proyek Movieland MNC Lido City, Sukabumi, Jawa Barat; pembangunan berbagai jalan tol, pembangkit listrik, dan bandar udara di beberapa daerah; hingga yang terakhir dan jadi perhatian khalayak adalah pembangunan Rempang Eco-city di Kepulauan Riau.

Konflik tersebut terus terjadi karena pola pikir pembangunan yang dikembangkan pemerintah hanya berdasarkan kepentingan investor. Sementara itu, kepentingan masyarakat hukum adat hanya dijadikan pertimbangan minoritas. Padahal tanah bagi masyarakat adat merupakan sesuatu yang sakral. Tanah, bagi mereka, bukan sekadar hubungan ekonomi dan tempat tinggal, tapi juga hubungan emosional bahkan spiritual. 

Mengutip kalimat Muhammad Afif dalam disertasinya yang membahas hukum adat, tanah bagi masyarakat adat pada dasarnya bukan untuk kepentingan komersial. Tanah merupakan sarana untuk memenuhi kebutuhan dan keberlangsungan hidup masyarakat adat serta menjaga budaya leluhur.

Namun semangat untuk melindungi tanah masyarakat tersebut tidak terlihat. Keberadaan Perpres Nomor 78 Tahun 2023 berpotensi menjadi alat untuk menghapus keberadaan masyarakat adat demi ambisi proyek strategis nasional, walaupun keberadaan masyarakat adat sebagai penguasa hak atas tanah diakui secara konstitusional. Karena itu, pemerintah seharusnya meninjau ulang dan mencabut perpres tersebut. Paling tidak oleh pemerintah yang baru nanti. 


PENGUMUMAN

Redaksi menerima tulisan opini dari luar dengan syarat: panjang sekitar 5.000 karakter (termasuk spasi) atau 600 kata dan tidak sedang dikirim ke media lain. Sumber rujukan disebutkan lengkap pada tubuh tulisan. Kirim tulisan ke e-mail: [email protected] disertai dengan nomor kontak dan CV ringkas.

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya
Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus