Scroll ke bawah untuk membaca berita

Logo
Pendapat

Sikap Inkonstitusional Polisi Surabaya

Langkah polisi menghentikan acara peringatan hari ulang tahun Partai Rakyat Demokratik (PRD) di Surabaya, 22 Juli lalu, patut disesalkan.

25 Juli 2019 | 07.00 WIB

Ilustrasi Polisi Indonesia. Getty Images
Perbesar
Ilustrasi Polisi Indonesia. Getty Images

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Logo

Langkah polisi menghentikan acara peringatan hari ulang tahun Partai Rakyat Demokratik (PRD) di Surabaya, 22 Juli lalu, patut disesalkan. Tanggung jawab polisi adalah memastikan hak berkumpul warga negara yang dijamin konstitusi bisa dilaksanakan, bukan malah mengakomodasi tekanan massa.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Logo

Sedianya PRD, yang lahir pada 22 Juli 1996, akan memperingati ulang tahun di kantornya, di Jalan Bratang Gede, Surabaya. Sejumlah acara disiapkan, dari diskusi terbuka, panggung budaya, hingga turnamen olahraga. Acara baru dimulai ketika polisi meminta perayaan dipercepat. Alasannya, ada massa ormas yang akan datang untuk membubarkan dan polisi tak mau ada keributan. Pengurus PRD Jawa Timur mengikuti anjuran itu. Para peserta, yang jumlahnya sekitar 40 orang, melepas atribut partai, termasuk spanduk dan bendera.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Tak berselang lama, massa dari Laskar Pembela Islam (LPI), sayap ormas Front Pembela Islam (FPI), betul-betul datang dan mencopot serta membakar atribut PRD yang masih tersisa. Mereka berteriak-teriak menyebut PRD partai terlarang. Pihak PRD mengatakan mereka adalah partai yang diakui dan tak melanggar hukum. Kita menyesalkan cara-cara jalanan seperti itu. Berbahaya jika hal ini terus dibiarkan, karena akan menciptakan hukum rimba dan mengabaikan asas negara hukum.

Lebih disesalkan lagi adalah sikap polisi yang meminta agar acara PRD itu segera diakhiri. Tindakan tersebut tidak patut karena dua hal. Pertama, sikap polisi itu seperti memberi angin kepada cara-cara jalanan yang dipakai oleh massa tersebut. Jika dibiarkan, praktik semacam itu akan menjadi pola yang terus dipakai untuk menekan kelompok yang tidak disukai dengan cara yang sama.

Kedua, langkah polisi itu menunjukkan sikap tidak bertanggung jawab sebagai aparat penegak hukum, yang fungsinya adalah memastikan hak masyarakat yang diatur dalam undang-undang bisa dipenuhi. Kita tahu bahwa berkumpul adalah hak yang diatur dalam Pasal 28 UUD 1945 dan Undang-Undang Nomor 9 Tahun 1998 tentang Kemerdekaan Menyampaikan Pendapat di Muka Umum.

Kita bisa mengerti bahwa polisi ingin menjaga ketertiban, dan itu memang menjadi tugasnya sesuai dengan amanat Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian RI. Namun undang-undang yang sama juga mengamanatkan bahwa polisi adalah aparat penegak hukum, yang tugasnya adalah memastikan hak berkumpul massa harus dilindungi. Polisi tak bisa menjadikan ketertiban sebagai dalih, lalu mengabaikan hak berkumpul masyarakat.

Dalam kasus di Surabaya tersebut, polisi sebagai aparat penegak hukum seharusnya meyakinkan massa ormas FPI untuk tidak meneruskan tindakannya yang tak sesuai dengan hukum itu. Sebab, yang dilakukan massa PRD dilindungi undang-undang, sehingga polisi harus meminta ormas FPI mundur dan tak meneruskan niatnya. Jika peringatan tersebut diabaikan dan massa FPI melakukan perusakan, justru polisi harus menindak mereka dengan pasal mengganggu ketertiban umum dan merusak properti orang lain, karena hal itu masuk kategori tindak pidana dalam KUHP. Bukan malah meminta massa PRD mengalah dan menghentikan kegiatannya, karena apa yang dilakukan massa partai ini tak melanggar konstitusi.

Ali Umar

Ali Umar

close

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Logo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus