Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
PAGl-PAGI orang sudah berjubel di tepi jalan, antara pelabuhan
Telukbayur dan desa Sitiung, Sumatera Barat. Tak lama kemudian
beberapa bus berkonvoi lewat Solok dan Padang, didahului
bunyi-bunyian Telepong dan Reog Ponorogo. Bus berisi 100 KK (448
jiwa transmigran asal Wonogiri, Jawa Tengah, itu menuju Sitiung
-- 200 Km lagi. Di depan sekali sudah menderu-deru motor
vorrijders polisi dan jip dengan kap terbuka berisi para petugas
LLAJR. Sirene pun meraung-raung.
Ini cerita lama, awal Desember 1976. Ketika itu rombongan
pertama transmigran 'bedol desa' itu tiba di sana. Menjelang
maghrib mereka tiba. Sambutan 'urang awak' pun tak kurang
ramah-tamahnya. Lengkap dengan upacara adat dan sekapur sirih
dari ketua adat Datuk Mendaro Kuning. Sebelum memasuki rumah
masing-masing, juga ada pidato dan kalungan bunga buat ketua
rombongan.
Minggu-minggu berikutnya, pemandangan seperti itu berulang.
Seminggu sekali datang 100 KK, sampai akhirnya mencapai jumlah
2.000 KK (66.000 jiwa). Berasal dari 6 kecamatan (41 desa),
mereka ditempatkan di kabupaten Sawahlunto-Sijunjung. Rombongan
yang datang belakangan biasanya tak lupa peluk-memeluk dengan
yang tiba duluan. Bersyukur tiba dengan selamat di 'tanah
seberang'.
Adapun tanah asal mereka di Wonogiri terkena proyek pembangunan
waduk "Gajah Mungkur" yang kelak akan berfungsi sebagai
pembangkit tenaga listrik, juga untuk mengairi sawah dan
sekaligus menanggulangi banjir rutin Bengawan Sala. Sebelumnya
-- di pelosok mana pun di Indonesia -- sambutan istimewa seperti
itu belum pernah terjadi.
Transmigrasi "Pola Sitiung" memang agak lain. Pelaksanaannya
tidak hanya ditangani oleh satu Departemen, melainkan bekerja
sama dengan beberapa Departemen lain secara fungsionil. Dan
diharapkan pola itu akan dijadikan contoh untuk selanjutnya
diterapkan di daerah lain. Ketika itu pelaksanaannya memang
cepat. Sarananya pun memadai. Perumahan dan jalan misalnya,
dibangun duluan sebelum transmigran tiba.
Tak heran kalau para petugas Transmigrasi di lain daerah,
Sulawesi Selatan misalnya, pernah ngiler dibuatnya. Di sana,
pernah rombongan transmigrasi terpaksa diangkut dengan truk,
gerobak sapi, bahkan traktor. Ada pula yang jalan kaki. Para
petugas Transmigrasi itu juga terheran-heran mendengar biaya
pembangunan rumah sederhana ukuran 34,5 MÿFD yan~g Rp 200.000.
Dengan kondisi lebih baik, menurut mereka, di Sulteng bisa
dibangun hanya dengan biaya Rp 150.000. Ongkos membabat hutan
pun, di Sulteng cuma Rp 50.000 per Ha, sementara di Sitiung
Rp 200.000.
"Dengan biaya melimpah seperti itu, bisa saja kita mengatur yang
lebih baik dari Sitiung," ujar A. Amiroennas, Ka Kanwil
Direktorat Transmigrasi Sulsel beberapa waktu lalu. Ia juga
pernah menengok Sitiung. Pola seperti Sitiung, konon juga sudah
lama diterapkan di Sulsel -- ada kerjasama dengan beberapa
Dinas. Cuma bedanya biaya tak melimpah dari Pusat.
Meski begitu, Sulsel kepingin juga meniru proyek Sitiung.
Apalagi toh ada rencana membuka jalan raya Lintas SuIawesi --
yang menghubungkan Sulut-Sulteng-Sulsel -- yang mulai dikerjakan
April 1977. Tak berapa lama, Jambi me-nyusul mengetrapkan pola
Sitiung.
Tapi bersamaan dengan itu timbul pula keluh-kesah. Sementara
Sitiung gagal panen padi, rumah-rumah di Rimbo Bujang pun tak
kunjung jadi (lihat: Tiga Potret Dari Dekat).
Hal itu mengakibatkan tertunda-tundanya pemberangkatan
transmigran dari Jawa. Para transmigran di Pati (Jawa Tengah),
Gunung Kidul (Daerah Istimewa Yogyakarta dan Karawang (Jawa
Barat) misalnya, terkatung-katung. Padahal umumnya mereka sudah
terlanjur menjual rumah, tanah dan semua milik harta bendanya.
Akibatnya, sambil menunggu pemberangkatan, mereka terpaksa
nebeng di rumah sanak famili atau kenalan, sementara uang ganti
rugi atau hasil penjualan barang-barang berharga mereka semakin
menipis.
Sampai akhir Juli lalu, puluhan rakyat dari desa Bangsalrejo,
Geneng, Tluwuk dan Trangkilan kecamatan Wedarijaksa, Pati,
terkatung-katung karena tak jadi diberangkatkan. Repotnya,
mereka rupanya juga jadi korban penipuan. Ada beberapa orang
yang terlanjur membayar Rp 60.000 dengan janji akan mendapat
rumah dan tanah yang paling baik. Padahal untuk bertransmigrasi
sebenarnya tak ada keharusan membayar sepeserpun. Uang foto pun,
Rp 800 per orang, sebenarnya menjadi tanggungan Pemerintah.
Tapi orang-orang Pati itu terlanjur membayar. Barangkali saking
begitu besarnya minat mereka bertransmigrasi daripada
menghabiskan umur di desa asal yang menjadi langganan banjir.
Mereka dijanjikan akan diberangkatkan April lalu. Tapi sampai
Juli kemarin masih terkatung-katung.
45 KK dari desa Tileng, kecamatan Rongkop, Gunungkidul, DIY.
juga mengalami nasib sama. Dijanjikan berangkat tahun 1977,
mereka terkatungkatung sampai pertengahan tahun ini. Sudah
berkali-kali Camat Rongkop mendesak Kantor Transmigrasi DIY.
Tapi jawabnya enak saja: harap sabar menunggu sampai ada
'perintah' untuk beragkat. Padahal mereka sudah tak punya
apa-apa lagi.
Bagi Gunungkidul, rupanya hal semacam itu sudah sering terjadi.
Sebelumnya, sejumlah transmigran dari desa Dadapayu kecamatan
Seranu juga bernasib sama. Tapi karena tak sabar, mereka
berangkat sendiri -- dengan bantuan sanak famili mereka yang
sudah lebih dulu berada di luar Jawa.
Pernah, pertengahan Mei lalu, sejumlah transmigran asal Karawang
dijanjikan segera berangkat ke Rasoambawang, Kalimantan Barat.
Tapi setelah berkumpul di satu tempat, baru diberangkatkan
keesokan harinya. Itu pun, sebelumnya mereka ditampung dulu di
gedung Rehabilitasi Sosial Depsos di Bekasi, tempat yang
biasanya dijadikan 'asrama' bagi orang-orang tunakarya DKI.
Juni kemarin, sejumlah transmigran dari Karawang juga dikabarkan
menolak diberangkatkan. Soalnya, karena pemberitahuannya amat
mendadak. Mula-mula dianjurkan menunggu empat hari. Tapi dua jam
kemudian datang perintah agar bersiap-siap berangkat esok
paginya. Sedang enak-enaknya mereka tidur, petugas Transmigrasi
datang malam-malam menggedor rumah: waktu keberangkatan dirubah
lagi. Terpaksa mereka menyatakan tak sanggup karena tak ada
persiapan. Akhirnya, transmigran yang terdiri dari buruh tani
miskin (dan sejak lama menderita rawan pangan itu)
diberangkatkan juga Juli lalu. SeteIah menunggu sejak Januari.
Nasib sama ternyata juga dialami oleh penduduk Wonogiri. Tak
kurang dari 1859 KK -- sisa transmigran yang belum
diberangkatkan -- terkatung-katung selama empat bulan. Sementara
seluruh desanya, Jitakharjo, segera akan tenggelam dalam waduk
"Gajah Mungkur" bulan Oktober nanti -- mereka juga sudah
terlanjur menjual rumah dan sawah. Menteri Muda. Martono yang
Agustus lalu sempat mampir di sana tak bisa bilang apa-apa.
Habis, Rimbo Bujang belum siap, "masih berupa hutan belantara."
Tapi akhirnya, secara berangsur-angsur mereka diberangkatkan
juga dengan kapal laut. Minggu ketiga Agustus kemarin rombongan
pertama, 100 KK, sudah diterima secara adat setempat di Rimbo
Bujang. Mereka menempati Alai Hilir, disaksikan oleh Menteri
Muda Martono dan Dirjen Transmigrasi Soetidjah Soekadis. Pulang
dari sana, Kamis sore pekan lalu, di VIP Room bandar udara
Kemayoran, Martono menyatakan kepada TEMPO bahwa penyelenggaraan
transmigrasi selama ini "memang kurang koordinasi". Sebelumnya,
seorang pembantu Martono menyebut, "konsep Pola Sitiung
sebenarnya sudah bagus, cuma pelaksanaannya yang kurang baik."
Pola Sitiung itu sendiri, menurut Prof. Dr. Subroto, bekas
Menteri Nakertranskop yang kini menjadi Menteri Pertambangan dan
Enerji, "bukan gagasan yang sekonyong-konyong." Kalau pun lantas
ada arus transmigran Wonogiri mengalir ke Sitiung, katanya "itu
secara kebetulan." Kini setelah Sitiung dan Rimbo Bujang, ada 30
proyek lagi yang sedang dipersiapkan, meliputi Kalimantan,
Sulawesi dan Irian Jaya.
Untuk menyempurnakan pola tersebut, pertengahan Juli kemarin
Presiden Soeharto menginstruksikan pembentukan Badan Koordinasi
Penyelenggaraan Transmigrasi yang melibatkan tak kurang dari
sebelas Departemen. Kepada pers, Mensesneg Sudharmono tak
menyebut bahwa pembentukan Badan tersebut karena target yang
tercapai hanya 23 % dari sasaran. Ia hanya mengatakan, "pokoknya
yang belum sempurna kita sempurnakan. "
Meskipun sampai Jum'at pekan kemarin SK Presiden tentang
pembentukan Badan tersebut belum turun, namun Menteri Muda
Transmigrasi ada memberikan gambaran cara kerjanya. Beberapa
Dirjen yang dikoordinir oleh Martono pertama-tama memberikan
bahan kepada Menteri Muda sebagai bahan penyusunan rencana
penyelenggaraan transmigrasi.
Menteri Muda kemudian menyampaikan kepada Badan Koordinasi
tingkat Menteri yang diketuai oleh Menteri Nakertrans, untuk
diputuskan menjadi sebuah kebijaksanaan. Baru setelah itu
diterima kembali oleh Menteri Muda untuk dilaksanakan. Setelah
rencana itu tersusun, diharapkan akan tersusun pula
proyek-proyek transmigrasi besar di beberapa daerah. Jelasnya,
Menteri Muda bertindak sebagai koordinator dalam mempersiapkan
program dan kegiatan operasionil di lapangan.
Termasuk misalnya mempersiapkan daerah asal dan tujuan
transmigrasi, jenis tanah dan tanaman yang cocok. Juga jumlah
transmigran. Penyediaan biayanya ditanggung oleh Departemen yang
bertanggungjawab di salah satu segi pelaksanaan. Penyediaan
tanah, misalnya oleh Departemen Dalam Negeri, pembabatan hutan
oleh Departemen PU, penyediaan bibit oleh Departemen Pertanian,
dan seterusnya. Biaya tersebut disusun sesuai dengan DUP (Daftar
Urutan Proyek) dan DPI (Daftar Isian Proyek) dari masing-masing
Departemen.
Tampaknya Martono juga sudah mempersiapkan organisasi petani
yang dipimpinnya. Ia adalah juga Ketua Umum DPP HKTI (Himpunan
Kerukunan Tani Indonesia). "HKTI di Jawa Tengah dan Jawa Timur
misalnya, juga ikut memberikan penyuluhan transmigrasi,
mempersiapkan mereka dan ikut mengantar rombongan transmigrasi
yang berangkat," ujarnya minggu lalu.
Dan baginya, transmigrasi bukanlah hanya sekedar pemindahan
penduduk belaka. Melainkan memindahkan sebuah masyarakat lengkap
dengan latar belakang sosial dan kulturnya. "Dulu daerah
transmigran seolah-olah merupakan satu daerah tersendiri yang
tertutup," katanya. "Sekarang, hendaknya bisa berintegrasi
dengan daerah-daerah yang sebelumnya telah dihuni. Bahkan
merupakan sarana atau malah menjadi pendorong bagi pembangunan
daerah di sekitarnya."
MAKSUDNYA pembangunan daerah-daerah baru yang dihuni
transmigrasi diharapkan juga bisa dimanfaatkan oleh penduduk
asli. Dengan begitu, diharapkan juga tak akan timbul
ketegangan-ketegangan sosial seperti yang selama ini sering
terjadi. "Kalaupun timbul ketegangan, hal itu biasanya karena
kurangnya penyuluhan di kalangan penduduk asli," tambahnya. Tapi
Martono juga mengakui bahwa "biasanya para pendatang memang
lebih ulet."
Akan halnya 1.000 transmigran asal DKI yang lari dari desa-desa
Uepai dan Moramo, Sulawesi Tenggara, menurut Martono bukan hanya
lantaran tanah pemukimannya yang tidak subur tapi juga karena
"masalah mental yang malas." Beberapa waktu yang lalu dikabarkan
mereka 'menyerbu' Kendari. Ada yang menjadi tukang beca, buruh
kasar bahkan konon ada yang menjadi WTS.
Umumnya, transmigran asal DKI memang bekas gelandangan. "Tapi
sekarang saya dengar pihak DKI sedang mempelajari bagaimana
sebaiknya mentransmigrasikan mereka," kata Martono. Tampaknya
daerah Sulawesi Tenggara memang "keras". Kabarnya tak sedikit di
antara mereka yang meninggal terserang malaria. Yang paling
menyedihkan, selama tiga tahun mereka tak berhasil bertanam
padi. Proyek irigasi Ameroro kabarnya tidak berfungsi.
Di Pasaman, Sumatera Barat, juga ada transmigran asal DKI, 100
KK. Tampaknya mereka juga sulit berintegrasi. Barangkali kultur
kota besar masih terbawa-bawa ke pedalaman. Tapi di antara
mereka sendiri juga terdapat kesuhtan memasyarakat. Ada 12 orang
transmigran DKI yang dipandang berlagak sebagai jagoan, yang
kabarnya memeras sesama transmigran.
Bulan Juni lalu malah terjadi huruhara. Dimulai ketika ada
pertandingan sepakbola. Seorang lelaki, Gino, mengacau di tengah
lapangan. Ketika ditegur, ia mengamuk. Sehari kemudian Gino dkk
diserang massa. Tiga rumah terbakar. Ketika diadakan musyawarah,
ketahuanlah bahwa Gino adalah satu di antara yang suka memeras
itu.
Di unit desa "Suka Maju" kabupaten Luwu, Sulawesi Selatan,
pernah terjadi penduduk asli mengklaim tanah yang dlbagikan
kepada para transmigran. Maka tak heran kalau ada kerbau dan
sapi milik penduduk asli dibiarkan saja melahap tanaman milik
transmigran. Para transmigran tak jarang mendapat rintangan
setiap kali mencoba menggarap tanahnya, sementara penduduk asli
pun tak luput dari pengawasan ketat.
Tarima, yang mengaku memiliki 2.000 pohon kopi robusta di
Karangbua kecamatan Mangkutana, hampir bentrok dengan
transmigran ketika mau memetik buah kopi miliknya. Begitu pula
Baba, pemilik 2.000 kopi, 10 pohon durian dan beberapa pokok
pohon nyiur. Menurut Tobuyung, tanamannya yang ribuan pohon di
lokasi transmigrasi sebenarnya sudah 10 tahun diwarisi dari
neneknya.
ITU semua tak mengurangi hentakan program transmigrasi. Bahkan
pelayanannya kini dicoba untuk ditingkatkan. Misalnya dalam hal
pengangkutan. Sejak beberapa bulan terakhir ini ada rombongan
transmigrasi yang diberangkatkan dengan kapal udara. Misalnya
Juli kemarin diberangkatkan 100 KK dari Magelang dengan pesawat
Merpati menuju Rasau Ambawang, Kalimantan Barat.
Dari Jawa Timur, selama ini sudah 150 KK yang diterbangkan
--beberapa kali penerbangan dengan Garuda -- menuju Kalimantan
Timur, Irian Jaya, Sulawesi Utara dan Sulawesi Selatan. Malah
ernah pula 25 KK dari Madiun diterbangkan dengan Super Hercules
Lokheed L-100 menuju Singkut dan Rimbo Bujang, Jambi.
Menurut Humas Ditjen Perhubungan Udara, Didi Soediono,
penerbangan dengan Super Hercules ini merupakan percobaan,
menjajagi kemungkinan pengangkutan yang lebih efisien meskipun
lebih mahal. Tahun lalu katanya juga pernah digunakan pesawat
Transal C-160 mengangkut transmigran Jawa Tengah ke Kendari,
Sulawesi Tengah. Tapi Super Hercules lebih murah ketimbang
Transal. Kapasitasnya pun 120, sedang Transal hanya 100. Sampai
berapa jauh pengangkutan transmigran lewat udara ini cukup
efisien, menurut Martono, "kini sedang diperhitungkan oleh pihak
Ditjen Perhubungan udara."
Adapun transmigrasi 'bedol desa' seperti dari Wonogiri itu
--seluruh warga desa, komplit dengan para pamong desanya -- juga
dilakukan Juli lalu oleh 598 KK (1.124 jiwa) dari desa
Selobanteng kecamatan Besuki, Situbondo, Jawa Timur. Sebulan
sebelumnya, juga di Jawa Timur, malah ada 'bedol pesantren'. Dua
kali sudah Pesantren Sabilil Muttaqin (PSM) memberangkatkan
santrinya.
Pertama awal tahun ini dengan 79 KK (377 jiwa) dari Ngapit,
Ngawi, ke Baturaja dan kedua pertengahan tahun dengan 75 KK (314
jiwa) dari Karangmojo, Magetan, ke Kalaena Kiri, Sulawesi
Selatan. PSM sendiri didirikan tahun 1943, berpusat di Takeran,
Magetan. Dan kini mempunyai lebih dari 200 cabang di kota-kota
Jawa Timur. Ide transmigrasi itu mula-mula datang dari Kyai
Mundhir, 52 tahun, pimpinan PSM cabang Ngapit, Ngawi.
Ngapit memang terkenal tandus. Ketika salah seorang santrinya
pulang dari Lampung dan bercerita tentang transmigrasi, ia
tertarik. Lalu ia sendiri mencek ke Sumatera. Pimpinan PSM pun
mengabulkan usulnya, sementara pihak Transmigrasi tak keberatan
Pak Kyai memilih sendiri lokasinya. Upacara pemberangkatannya
agak istimewa. Dilepas oleh Muspida Tk. I, sampai di Jakarta
diterima pula oleh Laksamana Sudomo yang ketika itu masih
Kaskopkamtib.
Dalam kongres PSM Juli lalu, Mundzir juga berhasil mengusulkan
agar transmigrasi dijadikan salah satu program PSM. Bahkan tahun
ini 100 KK lagi dari pesantren Karangmojo akan diberangkatkan ke
Kalimantan Timur.
Kyai Mundzir yang membina pesantren sejak 1960 itu kini tinggal
di desa transmigrasi swakarya Baturaja-Martapura, Sumatera
Selatan. Keistimewaannya: ia juga mengaku keturunan langsung
dari Muhammad Rasulullah SAW, antara lain juga lewat Ki Ageng
Muhammad Basyari dari Ponorogo yang katanya menurunkan pula para
ulama di Jawa dan Malaysia. "Saya hanya dapat menyampaikan
silsilah sampai tujuh turunan. Kalau perlu silsilah lengkap ya
terpaksa harus dicari di Ngapit," katanya.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo