Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Politik

Ada Sitiung, Ada Yang Terkatung-katung

Untuk menyempurnakan transmigrasi "pola sitiung" presiden Soeharto menginstruksikan pembentukan badan koordinasi penyelenggaraan transmigrasi yang melibatkan sebelas departemen. (ds)

9 September 1978 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

PAGl-PAGI orang sudah berjubel di tepi jalan, antara pelabuhan Telukbayur dan desa Sitiung, Sumatera Barat. Tak lama kemudian beberapa bus berkonvoi lewat Solok dan Padang, didahului bunyi-bunyian Telepong dan Reog Ponorogo. Bus berisi 100 KK (448 jiwa transmigran asal Wonogiri, Jawa Tengah, itu menuju Sitiung -- 200 Km lagi. Di depan sekali sudah menderu-deru motor vorrijders polisi dan jip dengan kap terbuka berisi para petugas LLAJR. Sirene pun meraung-raung. Ini cerita lama, awal Desember 1976. Ketika itu rombongan pertama transmigran 'bedol desa' itu tiba di sana. Menjelang maghrib mereka tiba. Sambutan 'urang awak' pun tak kurang ramah-tamahnya. Lengkap dengan upacara adat dan sekapur sirih dari ketua adat Datuk Mendaro Kuning. Sebelum memasuki rumah masing-masing, juga ada pidato dan kalungan bunga buat ketua rombongan. Minggu-minggu berikutnya, pemandangan seperti itu berulang. Seminggu sekali datang 100 KK, sampai akhirnya mencapai jumlah 2.000 KK (66.000 jiwa). Berasal dari 6 kecamatan (41 desa), mereka ditempatkan di kabupaten Sawahlunto-Sijunjung. Rombongan yang datang belakangan biasanya tak lupa peluk-memeluk dengan yang tiba duluan. Bersyukur tiba dengan selamat di 'tanah seberang'. Adapun tanah asal mereka di Wonogiri terkena proyek pembangunan waduk "Gajah Mungkur" yang kelak akan berfungsi sebagai pembangkit tenaga listrik, juga untuk mengairi sawah dan sekaligus menanggulangi banjir rutin Bengawan Sala. Sebelumnya -- di pelosok mana pun di Indonesia -- sambutan istimewa seperti itu belum pernah terjadi. Transmigrasi "Pola Sitiung" memang agak lain. Pelaksanaannya tidak hanya ditangani oleh satu Departemen, melainkan bekerja sama dengan beberapa Departemen lain secara fungsionil. Dan diharapkan pola itu akan dijadikan contoh untuk selanjutnya diterapkan di daerah lain. Ketika itu pelaksanaannya memang cepat. Sarananya pun memadai. Perumahan dan jalan misalnya, dibangun duluan sebelum transmigran tiba. Tak heran kalau para petugas Transmigrasi di lain daerah, Sulawesi Selatan misalnya, pernah ngiler dibuatnya. Di sana, pernah rombongan transmigrasi terpaksa diangkut dengan truk, gerobak sapi, bahkan traktor. Ada pula yang jalan kaki. Para petugas Transmigrasi itu juga terheran-heran mendengar biaya pembangunan rumah sederhana ukuran 34,5 MÿFD yan~g Rp 200.000. Dengan kondisi lebih baik, menurut mereka, di Sulteng bisa dibangun hanya dengan biaya Rp 150.000. Ongkos membabat hutan pun, di Sulteng cuma Rp 50.000 per Ha, sementara di Sitiung Rp 200.000. "Dengan biaya melimpah seperti itu, bisa saja kita mengatur yang lebih baik dari Sitiung," ujar A. Amiroennas, Ka Kanwil Direktorat Transmigrasi Sulsel beberapa waktu lalu. Ia juga pernah menengok Sitiung. Pola seperti Sitiung, konon juga sudah lama diterapkan di Sulsel -- ada kerjasama dengan beberapa Dinas. Cuma bedanya biaya tak melimpah dari Pusat. Meski begitu, Sulsel kepingin juga meniru proyek Sitiung. Apalagi toh ada rencana membuka jalan raya Lintas SuIawesi -- yang menghubungkan Sulut-Sulteng-Sulsel -- yang mulai dikerjakan April 1977. Tak berapa lama, Jambi me-nyusul mengetrapkan pola Sitiung. Tapi bersamaan dengan itu timbul pula keluh-kesah. Sementara Sitiung gagal panen padi, rumah-rumah di Rimbo Bujang pun tak kunjung jadi (lihat: Tiga Potret Dari Dekat). Hal itu mengakibatkan tertunda-tundanya pemberangkatan transmigran dari Jawa. Para transmigran di Pati (Jawa Tengah), Gunung Kidul (Daerah Istimewa Yogyakarta dan Karawang (Jawa Barat) misalnya, terkatung-katung. Padahal umumnya mereka sudah terlanjur menjual rumah, tanah dan semua milik harta bendanya. Akibatnya, sambil menunggu pemberangkatan, mereka terpaksa nebeng di rumah sanak famili atau kenalan, sementara uang ganti rugi atau hasil penjualan barang-barang berharga mereka semakin menipis. Sampai akhir Juli lalu, puluhan rakyat dari desa Bangsalrejo, Geneng, Tluwuk dan Trangkilan kecamatan Wedarijaksa, Pati, terkatung-katung karena tak jadi diberangkatkan. Repotnya, mereka rupanya juga jadi korban penipuan. Ada beberapa orang yang terlanjur membayar Rp 60.000 dengan janji akan mendapat rumah dan tanah yang paling baik. Padahal untuk bertransmigrasi sebenarnya tak ada keharusan membayar sepeserpun. Uang foto pun, Rp 800 per orang, sebenarnya menjadi tanggungan Pemerintah. Tapi orang-orang Pati itu terlanjur membayar. Barangkali saking begitu besarnya minat mereka bertransmigrasi daripada menghabiskan umur di desa asal yang menjadi langganan banjir. Mereka dijanjikan akan diberangkatkan April lalu. Tapi sampai Juli kemarin masih terkatung-katung. 45 KK dari desa Tileng, kecamatan Rongkop, Gunungkidul, DIY. juga mengalami nasib sama. Dijanjikan berangkat tahun 1977, mereka terkatungkatung sampai pertengahan tahun ini. Sudah berkali-kali Camat Rongkop mendesak Kantor Transmigrasi DIY. Tapi jawabnya enak saja: harap sabar menunggu sampai ada 'perintah' untuk beragkat. Padahal mereka sudah tak punya apa-apa lagi. Bagi Gunungkidul, rupanya hal semacam itu sudah sering terjadi. Sebelumnya, sejumlah transmigran dari desa Dadapayu kecamatan Seranu juga bernasib sama. Tapi karena tak sabar, mereka berangkat sendiri -- dengan bantuan sanak famili mereka yang sudah lebih dulu berada di luar Jawa. Pernah, pertengahan Mei lalu, sejumlah transmigran asal Karawang dijanjikan segera berangkat ke Rasoambawang, Kalimantan Barat. Tapi setelah berkumpul di satu tempat, baru diberangkatkan keesokan harinya. Itu pun, sebelumnya mereka ditampung dulu di gedung Rehabilitasi Sosial Depsos di Bekasi, tempat yang biasanya dijadikan 'asrama' bagi orang-orang tunakarya DKI. Juni kemarin, sejumlah transmigran dari Karawang juga dikabarkan menolak diberangkatkan. Soalnya, karena pemberitahuannya amat mendadak. Mula-mula dianjurkan menunggu empat hari. Tapi dua jam kemudian datang perintah agar bersiap-siap berangkat esok paginya. Sedang enak-enaknya mereka tidur, petugas Transmigrasi datang malam-malam menggedor rumah: waktu keberangkatan dirubah lagi. Terpaksa mereka menyatakan tak sanggup karena tak ada persiapan. Akhirnya, transmigran yang terdiri dari buruh tani miskin (dan sejak lama menderita rawan pangan itu) diberangkatkan juga Juli lalu. SeteIah menunggu sejak Januari. Nasib sama ternyata juga dialami oleh penduduk Wonogiri. Tak kurang dari 1859 KK -- sisa transmigran yang belum diberangkatkan -- terkatung-katung selama empat bulan. Sementara seluruh desanya, Jitakharjo, segera akan tenggelam dalam waduk "Gajah Mungkur" bulan Oktober nanti -- mereka juga sudah terlanjur menjual rumah dan sawah. Menteri Muda. Martono yang Agustus lalu sempat mampir di sana tak bisa bilang apa-apa. Habis, Rimbo Bujang belum siap, "masih berupa hutan belantara." Tapi akhirnya, secara berangsur-angsur mereka diberangkatkan juga dengan kapal laut. Minggu ketiga Agustus kemarin rombongan pertama, 100 KK, sudah diterima secara adat setempat di Rimbo Bujang. Mereka menempati Alai Hilir, disaksikan oleh Menteri Muda Martono dan Dirjen Transmigrasi Soetidjah Soekadis. Pulang dari sana, Kamis sore pekan lalu, di VIP Room bandar udara Kemayoran, Martono menyatakan kepada TEMPO bahwa penyelenggaraan transmigrasi selama ini "memang kurang koordinasi". Sebelumnya, seorang pembantu Martono menyebut, "konsep Pola Sitiung sebenarnya sudah bagus, cuma pelaksanaannya yang kurang baik." Pola Sitiung itu sendiri, menurut Prof. Dr. Subroto, bekas Menteri Nakertranskop yang kini menjadi Menteri Pertambangan dan Enerji, "bukan gagasan yang sekonyong-konyong." Kalau pun lantas ada arus transmigran Wonogiri mengalir ke Sitiung, katanya "itu secara kebetulan." Kini setelah Sitiung dan Rimbo Bujang, ada 30 proyek lagi yang sedang dipersiapkan, meliputi Kalimantan, Sulawesi dan Irian Jaya. Untuk menyempurnakan pola tersebut, pertengahan Juli kemarin Presiden Soeharto menginstruksikan pembentukan Badan Koordinasi Penyelenggaraan Transmigrasi yang melibatkan tak kurang dari sebelas Departemen. Kepada pers, Mensesneg Sudharmono tak menyebut bahwa pembentukan Badan tersebut karena target yang tercapai hanya 23 % dari sasaran. Ia hanya mengatakan, "pokoknya yang belum sempurna kita sempurnakan. " Meskipun sampai Jum'at pekan kemarin SK Presiden tentang pembentukan Badan tersebut belum turun, namun Menteri Muda Transmigrasi ada memberikan gambaran cara kerjanya. Beberapa Dirjen yang dikoordinir oleh Martono pertama-tama memberikan bahan kepada Menteri Muda sebagai bahan penyusunan rencana penyelenggaraan transmigrasi. Menteri Muda kemudian menyampaikan kepada Badan Koordinasi tingkat Menteri yang diketuai oleh Menteri Nakertrans, untuk diputuskan menjadi sebuah kebijaksanaan. Baru setelah itu diterima kembali oleh Menteri Muda untuk dilaksanakan. Setelah rencana itu tersusun, diharapkan akan tersusun pula proyek-proyek transmigrasi besar di beberapa daerah. Jelasnya, Menteri Muda bertindak sebagai koordinator dalam mempersiapkan program dan kegiatan operasionil di lapangan. Termasuk misalnya mempersiapkan daerah asal dan tujuan transmigrasi, jenis tanah dan tanaman yang cocok. Juga jumlah transmigran. Penyediaan biayanya ditanggung oleh Departemen yang bertanggungjawab di salah satu segi pelaksanaan. Penyediaan tanah, misalnya oleh Departemen Dalam Negeri, pembabatan hutan oleh Departemen PU, penyediaan bibit oleh Departemen Pertanian, dan seterusnya. Biaya tersebut disusun sesuai dengan DUP (Daftar Urutan Proyek) dan DPI (Daftar Isian Proyek) dari masing-masing Departemen. Tampaknya Martono juga sudah mempersiapkan organisasi petani yang dipimpinnya. Ia adalah juga Ketua Umum DPP HKTI (Himpunan Kerukunan Tani Indonesia). "HKTI di Jawa Tengah dan Jawa Timur misalnya, juga ikut memberikan penyuluhan transmigrasi, mempersiapkan mereka dan ikut mengantar rombongan transmigrasi yang berangkat," ujarnya minggu lalu. Dan baginya, transmigrasi bukanlah hanya sekedar pemindahan penduduk belaka. Melainkan memindahkan sebuah masyarakat lengkap dengan latar belakang sosial dan kulturnya. "Dulu daerah transmigran seolah-olah merupakan satu daerah tersendiri yang tertutup," katanya. "Sekarang, hendaknya bisa berintegrasi dengan daerah-daerah yang sebelumnya telah dihuni. Bahkan merupakan sarana atau malah menjadi pendorong bagi pembangunan daerah di sekitarnya." MAKSUDNYA pembangunan daerah-daerah baru yang dihuni transmigrasi diharapkan juga bisa dimanfaatkan oleh penduduk asli. Dengan begitu, diharapkan juga tak akan timbul ketegangan-ketegangan sosial seperti yang selama ini sering terjadi. "Kalaupun timbul ketegangan, hal itu biasanya karena kurangnya penyuluhan di kalangan penduduk asli," tambahnya. Tapi Martono juga mengakui bahwa "biasanya para pendatang memang lebih ulet." Akan halnya 1.000 transmigran asal DKI yang lari dari desa-desa Uepai dan Moramo, Sulawesi Tenggara, menurut Martono bukan hanya lantaran tanah pemukimannya yang tidak subur tapi juga karena "masalah mental yang malas." Beberapa waktu yang lalu dikabarkan mereka 'menyerbu' Kendari. Ada yang menjadi tukang beca, buruh kasar bahkan konon ada yang menjadi WTS. Umumnya, transmigran asal DKI memang bekas gelandangan. "Tapi sekarang saya dengar pihak DKI sedang mempelajari bagaimana sebaiknya mentransmigrasikan mereka," kata Martono. Tampaknya daerah Sulawesi Tenggara memang "keras". Kabarnya tak sedikit di antara mereka yang meninggal terserang malaria. Yang paling menyedihkan, selama tiga tahun mereka tak berhasil bertanam padi. Proyek irigasi Ameroro kabarnya tidak berfungsi. Di Pasaman, Sumatera Barat, juga ada transmigran asal DKI, 100 KK. Tampaknya mereka juga sulit berintegrasi. Barangkali kultur kota besar masih terbawa-bawa ke pedalaman. Tapi di antara mereka sendiri juga terdapat kesuhtan memasyarakat. Ada 12 orang transmigran DKI yang dipandang berlagak sebagai jagoan, yang kabarnya memeras sesama transmigran. Bulan Juni lalu malah terjadi huruhara. Dimulai ketika ada pertandingan sepakbola. Seorang lelaki, Gino, mengacau di tengah lapangan. Ketika ditegur, ia mengamuk. Sehari kemudian Gino dkk diserang massa. Tiga rumah terbakar. Ketika diadakan musyawarah, ketahuanlah bahwa Gino adalah satu di antara yang suka memeras itu. Di unit desa "Suka Maju" kabupaten Luwu, Sulawesi Selatan, pernah terjadi penduduk asli mengklaim tanah yang dlbagikan kepada para transmigran. Maka tak heran kalau ada kerbau dan sapi milik penduduk asli dibiarkan saja melahap tanaman milik transmigran. Para transmigran tak jarang mendapat rintangan setiap kali mencoba menggarap tanahnya, sementara penduduk asli pun tak luput dari pengawasan ketat. Tarima, yang mengaku memiliki 2.000 pohon kopi robusta di Karangbua kecamatan Mangkutana, hampir bentrok dengan transmigran ketika mau memetik buah kopi miliknya. Begitu pula Baba, pemilik 2.000 kopi, 10 pohon durian dan beberapa pokok pohon nyiur. Menurut Tobuyung, tanamannya yang ribuan pohon di lokasi transmigrasi sebenarnya sudah 10 tahun diwarisi dari neneknya. ITU semua tak mengurangi hentakan program transmigrasi. Bahkan pelayanannya kini dicoba untuk ditingkatkan. Misalnya dalam hal pengangkutan. Sejak beberapa bulan terakhir ini ada rombongan transmigrasi yang diberangkatkan dengan kapal udara. Misalnya Juli kemarin diberangkatkan 100 KK dari Magelang dengan pesawat Merpati menuju Rasau Ambawang, Kalimantan Barat. Dari Jawa Timur, selama ini sudah 150 KK yang diterbangkan --beberapa kali penerbangan dengan Garuda -- menuju Kalimantan Timur, Irian Jaya, Sulawesi Utara dan Sulawesi Selatan. Malah ernah pula 25 KK dari Madiun diterbangkan dengan Super Hercules Lokheed L-100 menuju Singkut dan Rimbo Bujang, Jambi. Menurut Humas Ditjen Perhubungan Udara, Didi Soediono, penerbangan dengan Super Hercules ini merupakan percobaan, menjajagi kemungkinan pengangkutan yang lebih efisien meskipun lebih mahal. Tahun lalu katanya juga pernah digunakan pesawat Transal C-160 mengangkut transmigran Jawa Tengah ke Kendari, Sulawesi Tengah. Tapi Super Hercules lebih murah ketimbang Transal. Kapasitasnya pun 120, sedang Transal hanya 100. Sampai berapa jauh pengangkutan transmigran lewat udara ini cukup efisien, menurut Martono, "kini sedang diperhitungkan oleh pihak Ditjen Perhubungan udara." Adapun transmigrasi 'bedol desa' seperti dari Wonogiri itu --seluruh warga desa, komplit dengan para pamong desanya -- juga dilakukan Juli lalu oleh 598 KK (1.124 jiwa) dari desa Selobanteng kecamatan Besuki, Situbondo, Jawa Timur. Sebulan sebelumnya, juga di Jawa Timur, malah ada 'bedol pesantren'. Dua kali sudah Pesantren Sabilil Muttaqin (PSM) memberangkatkan santrinya. Pertama awal tahun ini dengan 79 KK (377 jiwa) dari Ngapit, Ngawi, ke Baturaja dan kedua pertengahan tahun dengan 75 KK (314 jiwa) dari Karangmojo, Magetan, ke Kalaena Kiri, Sulawesi Selatan. PSM sendiri didirikan tahun 1943, berpusat di Takeran, Magetan. Dan kini mempunyai lebih dari 200 cabang di kota-kota Jawa Timur. Ide transmigrasi itu mula-mula datang dari Kyai Mundhir, 52 tahun, pimpinan PSM cabang Ngapit, Ngawi. Ngapit memang terkenal tandus. Ketika salah seorang santrinya pulang dari Lampung dan bercerita tentang transmigrasi, ia tertarik. Lalu ia sendiri mencek ke Sumatera. Pimpinan PSM pun mengabulkan usulnya, sementara pihak Transmigrasi tak keberatan Pak Kyai memilih sendiri lokasinya. Upacara pemberangkatannya agak istimewa. Dilepas oleh Muspida Tk. I, sampai di Jakarta diterima pula oleh Laksamana Sudomo yang ketika itu masih Kaskopkamtib. Dalam kongres PSM Juli lalu, Mundzir juga berhasil mengusulkan agar transmigrasi dijadikan salah satu program PSM. Bahkan tahun ini 100 KK lagi dari pesantren Karangmojo akan diberangkatkan ke Kalimantan Timur. Kyai Mundzir yang membina pesantren sejak 1960 itu kini tinggal di desa transmigrasi swakarya Baturaja-Martapura, Sumatera Selatan. Keistimewaannya: ia juga mengaku keturunan langsung dari Muhammad Rasulullah SAW, antara lain juga lewat Ki Ageng Muhammad Basyari dari Ponorogo yang katanya menurunkan pula para ulama di Jawa dan Malaysia. "Saya hanya dapat menyampaikan silsilah sampai tujuh turunan. Kalau perlu silsilah lengkap ya terpaksa harus dicari di Ngapit," katanya.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus