Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
BAGAIMANA bila kepercayaan jadi dapat pengukuhan lewat GBHN?
Bagaimana bila tak dapat? Masalah Ini nampaknya mendesak untuk
difikirkan, melihat panasnya suasana yang bisa tidak sehat buat
siapa pun.
Sidang Badan Pekerja MPR 20 Januari ini, dalam hal pembahasan
kepercayaan. tidak akan disertai Fraksi Persatuan Pembangwmn. P3
dari semula menolak materi tersebut. Majlis Ulama Indonesia pun
memperkuat penolakan mereka sebelumnya.
Tapi selain menolak, sembilan orang dari Dewan Pimpinan Majlis
itu juga minta Pemerintah mengambil kebijaksanaan yang tinggi
untuk tidak menimbulkan perpecahan bangsa. Mereka juga
menyatakan bahwa Majlis Ulama sedia berkonsultasi dengan aliran
kepercayaan. Maksud: mengembalikan aliran kepercayaan kepada
induk agamanya masing-masing."
Dan mengembalikan mereka kepada induk agamanya masing-masing
agaknya juga salah-satu butir penegasan Presiden Soeharto di
depan kongres Perkumpulan SUBUD di tahun 1971. Ini diulangi
kembali oleh Wakil Ketua DPA Mayjen Alamsyah pada hari yang
sama, pertengahun Januari kemarin. Selesai bertemu dengan
Presiden selama satu lain, Alamsyah mengingatkan anjuran
Presiden agar aliran-aliran tersebut mendorong anggotanya untuk
taat kepada ajaran agama yang mereka peluk.
Namun mungkinkah itu. ketika purbasangka telah timbul?
Mungkinkah penganut kepercayaan taat kepada agama yang mereka
peluk, sementara mereka mungkin justru ingin bebas dari agama
itu karena dianggap kurang sesual di hati?
Memang ada dugaan, bahwa kemauan menyatakan identitas sendiri di
kalangan kepercayaan adalah akibat di bangkit-bangkitkan oleh
lapisan atas untuk tujuan yang hanya sepersekiannya saja
bersifat kerohanian. Namun mungkin juga kalangan kepercayaan
memang perlu perlindungan. Sejak trauma G-30-S, orang yang
tidak menyatakan diri beragama takut dituduh PKI. Agama menjadi
penting sebagai semacam cap dan penyembuhan. Seorang tahanan
G-30-S yang beragama Hindu Bali misalnya terpaksa dicap Budha,
karena di dalam penjara kebetulan tak ata pelajaran Hindu-Bali.
Pokoknya: asal memeluk agama sajalah ....
Barangkali untuk berlindung dari arus yang agak dipaksakan
itulah - berbareng dengan saat Golkar mencari suara kalangsn
penganut kepercayaan jadi menonjol di masa terakhir ini.
Meskipun diduga jumlahnya tidak besar.
Setelah selama ini merasa ditekan oleh lembaya-lembaga semacam
Pakem dari Kejaksaan, dan karena itu pula makin berbulat hati
untuk memerdekakan diri, mereka sekarang melakukan klaim ke dua
jurusan. Ke luar, mereka ingin memasukkan agama-agama suku atau
kepercayaan animis (toh dengan nama kepercayaan kepada Tuhan
Yang Maha Esa) di seluruh Nusantara. Ke dalam, mereka mengklaim
seluruh orang Jawa kecuali yang benar-benar santri. Dengan itu
hendak ditampilkan, bahwa Jawa lain dari Islam atau tidak dengan
sendirinya sama. Bisa dilihat bahwa tuntutan kalangan
kepercayaan sekarang jauh lebih besar skalanya dari tuntutan
tahun 1950-an. zaman KRMT Wongsonagoro dengan BKKI-nya (Badan
Kongres Kebatinan Indonesia).
Bahwa orang Jawa cenderung kepada mistik, sudah diketahui.
Bahkan para pencatat sejarah masuknya Islam ke Nusantara
menerakan faktor penunjang penyebaran Islam di sini adalah
kecenderungan mistik penduduk (istimewa Jawa), sementara Islam
sendiri datang dalam warna mistik yang pekat. Zaman tokoh-tokoh
yang disebut Wali Sanga adalah zaman tarekat yakni mistik yang
membentuk diri dalam berbagai ordo.
Memang bukan tidak ada "penertiban". Dalam dongeng misalnya
disebut bahwa Seh Siti Jenar dibunuh oleh para wali lain. Ini
bisa ditafsirkan sebagai pembersihan terhadap ordo-ordo yang
dinilai menyimpang: Faham Al-Hallaj. Suhrawardi. Abu Yaid
Al-Busthami dan semacamnya. Bearti pembersihan oleh tarekat
kepada tarekat.
Tetapi "pembersihan yang lebih berarti dimulai bibitnya pada
abad-abad 17-18: masuknya arus pemurnian agama yang bersandar
pada syara" (daerah hukum). Dan di akhir abad 19 dan awal abad
kini. Kaum syara' - terdiri dari para kyai seperti yang akhirnya
mendirikan Nahdratul Ulama - praktis menyapu tarekat-tarekat
"menyimpang yang rupanya terus timbul-tenggelam dan muncul.
Lalu datang ulama syara 'Muhammadiyah dan yang sejenis. Mereka
membawa pemurnian lebih lanjut dan sekaligus menutup
bayang-bayang ulama syara' sebelumnya. Berikutnya datang
buku-buku. penuh fikiran keislaman "modern". yang menjadikan
Islam seakan makin lama makin memberat ke arah otak. Lalu orang
pun berkata: Islam sudah menjadi anti-mistik.
Dan bila Islam sudah "anti mistik" dan bila "orang Jawa"
dikatakan tetap tinggal pada kecenderungan mistik, antara
keduannya jarak pun cenderung terbentang. Masalahnya bagi Islam:
apakah jarak itu akan dibiarkan terbentang? Perumusan sikap
untuk menjawab itu nampaknya belum sempat dilakukan, meskipun
percikan fikiran sudah nampak di sana-sini.
Dua tahun lalu misalnya Prof. Hamka menulis surat kepada
Presiden Soeharto. Mengambarkan dengan cukup tajam keresahan di
kalangan pemimpin keagamaan Islam dalam Majlis Ulama dalam
masalah 'kepercayaan'. Hamka tak lupa menulis dari sejarah Jawa:
tindakan raja-raja Jawa yang bijaksana yang pandai mengasun baik
kalangan santri maupun kejawen. "tetapi tidak mempertemukan."
Kaum kyai dibiarkan hidup dalam pemeliharaan mesjid diberi
badan Yogaswara, bahkan Sunan Solo X mendirikan Pesantren
Mambaul Ulum.
Hamka yang juga menyiratkan dengan agak pedih kemungkinan
bangkitnya semangat kesukuan, juga menyinggung gerakan yang
didirikan Voltaire dan kawan-kawannya di Perancis. Yakni satu
faham yang mengakui Tuhan Yang Maha Esa tanpa mengakui nabi dan
wahyu. Pemerintah Perancis, menurut Hamka tidaklah merasa perlu
memberi wadah mereka menjadi kepercayaan misalnya. Yah itu
sekedar filsafat silakan.
Leten (Pur.) H. Sudirman tokoh Pendidikan Tinggi Dawah Islam
(PTDI) dan anggota Majlis Ulama Pusat. sehubungan dengan sikap
kepada kalangan kepercayaan ada menyebutkan surat instruksi
Majlis Ulama kepala daerah-daerah: agar mendekati kalangan
kebatinan secara baik-baik. dan berdialog dengan mereka.
Seorang ulama muballigh besar di Pekalongan, Ustaz Abdul Ghaffar
Ismail, dikabarkan menganjurkan agar aliran kebatinan jangan
hendaknya dihadapi dengan konfrontasi. Hendaklah disublimir,
istilahnya, mistik mereka itu dengan mistik kita. Sebab kita
sama-sama mempunyai pengalaman mistik.
Haji Bendoro Pangeran Haryo Prabuningrat, Rektor Universitas
Islam Indonesia dan anggota Majlis Ulama Yogyakarta, bertutur
kepada Susanto Pudjosumarto dari TEMPO: Saya sering bertanya:
sebelum Nabi s.a.w. mendapat wahyu shalat lima waktu, dan masih
sering bersamadi di Gua Hira, yang dilakukannya itu apa? Beliau
berusaha berhubungan langsung dengan Tuhan. Tapi yang dilakukan
beliau itu dinamakan apa? ulah mistik. Pengikut kepercayaan
juga melakukan samadi kepada Tuhan. Shalat juga berhubungan
langsung dengan Tuhan. Bedanya yang satu bergerak, yang lain
diam. Ini tinjauan secara nuchte dan realistis, kataBapak Prabu,
yang mengaku hallya orang Islam biasa - tidak masuk aliran
kebatinan atau organisasi sosial apapun. Maksudnya barangkali:
jangan sampai menyangka tata cara ibadat lain misalnya sebagai
biadab, meskipun jelas tidak setuju.
Ki Moesa'l Mahfoeld, bekas dosen agama di UGM dan IAIN Sunan
Kalijaga dan kini di AKABRI Udarat dan Institut Kartini, Yogya,
menyatakan bahwa aliran kepercayaan seharusnya dilayani, bukan
diberantas. Kalau tidak ada perobahan sikap, dan masih akan
memberantas terus, persoalan ini akan berlarut-larut, katanya.
Mistik dalam Islam memang masih hidup. Ketiga tokoh di atas
adalah para mistikus atau diketahui dekat dengan mistik.
Betapapun gambaran bahwa Islam adalah anti-mistik nampaknya
lebih merupakan gambaran dari golongan Islam yang berada di
garis depan perbenturan masa kini.
Di garis belakang, kenyataan mistik di kalangan Islam -- dalam
kedudukan sejajar dengan temperamen mistik Jawa--bisa
ditunjukkan oleh masih larisnya pengajian tasauf. Pengajian Kyai
Mangli di Magelang misalnya, dipadati ribuan murid lari berbagai
kota setiap minggu. Abah Anom (KH Shahibul Wafa Tajul Arifin,
pemimpin pesantren tarekat Surialaya, Tasikmalaya) bahkan punya
200-300 orang khalifah di berbagai kota. NU sendiri mempunyai
wadah berbagai macam tarekat.
Karena itu pula Abdurrahman Wahid Sekretaris Pondok Tebuireng
Jombang yang banyak menulis masalah Islam, berani memastikan
bahwa tarekat tidak akan pernah lenyap. Kyai syara (hukum) itu
ada di lapisan atas, sementara kecenderungan tarekat di bawah
sebenarnya besar sekali.
Beberapa kenyataan bisa ditunjukkan Abdurrahrnan. Pembersihan di
abad 20 oleh para pendiri dan sesepuh NU (misalnya Kyai Asy ari,
Kyai Bisjri Sjamsuri, Kyai Machrus) adalah pembersihan syara
terhadap tarekat yang dinilai menyimpang. Untuk waktu yang cukup
lama kaum syara pun selalu di atas. Merekalah yang pegang buku
teks, mereka pula yang berhak menafsiri ajaran. Meski begitu, di
tahun-tahun 1959-1960 terasa kontrol mereka mulai mengendor
juga.
Berbagai tarekat menyimpang yakni campuran tarekat-tarekat yang
dulu masuk ke mari lewat Trengganu dan Negeri Sembilan, dan
menemukan pengalaman yang sama dalam hal misalnya manunggaling
kawula gusti dengan kebatinan Jawa yang kemudian membekas waktu
itu toh bisa muncul kembali. Ini memaksa kaum syara di awal
60-an itu mensiirikan Jam'iyah Thariqat Mu'tabarah, himpunan
tarekat sah, dengan berpedoman kepada mistik Al-Ghazali yang
bersih sebagai kriteria. Tetapi adakah ini memenuhi kebutuhan
sebagian jemaat?
Tak seluruhnya. Bahkan muncul gerakan-gerakan yang mengganti
nama tarekat tangan nama 'amalan'. Apalagi ketika kemudian
Thariqat Mu'tabarah sendiri pecah akibat pemilu yang lalu: KH
Musta'in Romli, ketua umumnya, Ikut Golkar, sehingga ia
dikucilkan dari ulama NU.
Dan wajur saju yung dikucilkan kemudian mencari persekutuan
dengan kalangan luar. Kyai Musta'in sendiri misalnya sekarang
menamakan tempat majlis tarokatnya bukan funduq atau zawiah,
melainkan padepokan. Dan nama itu ditulis besar-besar. Apakah
dengan demikian akan ada pendekatan antara padepokan semacam itu
dengan kalangan kopercayaan?
Abdurrahman Wahid berani memastikan aliansi momang sepantasnya
terjadi antara golongan yang sama-sama disisihkan. Dan siapa
tahu ini akan ikut mewarnai kehidupan Islam di masa mendatang.
Sementara itu peranan kyai syara sendiri sebenarnya bisa
dijejaki sebagai tak lagi sekuat dulu. Sebab kehidupan, yang
makin majemuk dan aneh-aneh, terasa tak cukup lagi bisa
diterangkan hanya dengan fiqh yang jadi tumpuan syara.
Mereka, kaum syara dalam NU dan Muhsmmadiyah, banyak menghadapi
problem dalam mengendalikan generasi yang lebih muda sebab
memang tak ata nilai-nilai lain di luar syara yang bisa membuat
mereka menenggang kenyataan-kenyataan keras di luar.
Selama orientasi agama ditumpukan hampir melulu pada masalah
dosa dan pahala (syara), dan bukan mencari ketenteraman dan
pengetahuan sejati tentang Tuhan (tasauf), orang memang bisa
jadi agamawan yang sangat tegang menghadapi keadaan sekitar.
Barangkali memang, seperti diharapkan Abdurrachman Wahld, perlu
naiknya kembali warna mistik dalam Islam. Tidak untuk
mengalahkan syara, sebab itu tak mungkin dan juga berbahaya.
Melainkan untuk membuat kehidupan beragama lebih plural dan
lebih lapang.
Mungkin agama Islam perlu tampak tak terlalu kering dan
formalistis satu hal yang menimbulkan keengganan kalangan
kejawen terhadap mereka. Prof. Rasjiti sendiri misalnya, seperti
juga Prof. Djojotiuno dulu, ada mengemukakan sebab penting
mengapa orang mencari aliran kebatinan: karena warna kehidupan
Islam yang formalistis itu.
Tapi mungkin Juga soalnya menyangkut sikap para pemimpin Islam
dalam menghadapi kebudayaan setempat. IAI, misalnya, membuka
fakultas sastra Arab tapi tak punya pengkajian sastra dan budaya
masing-masing daerah, baik Jawa ataupun Aceh.
Pustaka Jawa yang sarat hubungannya dengan kebatinan (juga
dengan kebatinan Islam) juga baru dibahas bila dianggap
menyeleweng, dengan lebih dulu meletakkannya sebagai tertuduh.
Padahal sejauh jauh penyelewengan Ronggowarsito atau Ki
Yosodipuro, mereka toh bisa dibicarakan bersama para mistikus
Islam lain, yang juga menyeleweng seperti Fansuri atau lainnya.
Memang tidak mudah mengganti kebiasaan - kultur, dan bukan
agama. Mutahkah membiasakan diri menabuh gamelan di depun
langgar, seperti memainkan prabu di tempat itu juga Prabu
ningrat menuturkan bahwa sikap kalangan muslimin kepada budaya
lokal umumnya sekarang sudah lebih baik. Hanya, dikisahkannya,
beberapa tahun lalu ada diusulkan (oleh kalangan Idam yang tidak
suka gamelan maupun rebana) agar gamelan sekati pada perayaan
Sekaten jangan dibunyikan di depan Mesjid Agung. Akibatnya,
semua orang pergi ke Sitihinggil di mana gamelan ditabuh.
Belakangan pihak Mesjid meminta kepada Kraton, agar gamelan
ditempatkan lagi di Mesjid . . . "Islam hendaknya lebih toleran
kepada bentuk kebudayaan setempat", BPH Prabu berkata.
Seperti sikap para wali dulu. Ki Moesa'l Mahfoeld menceritakan
hasil pembacaannya pada naskah-naskah kuno yang terdapat di
Mosjld Asono, Tuban, tahun 1938 - yang diperkirakannya sebagai
notulen rapat para wali sebelum jatuhnya Majapahit. Dalam rapat
itu Maulana Ishak dari Blambangan mengusulkan agar semua
kebudayaan yang mengotori Islam diberantas saja. Tidak ada
catatan tentang pembicaraan. Hanya ada keputusan: bahwa tugas
para wali sebetulnya adalah Tut Wuri Hangiseni (menuruti
kemauan, memberi isi).
Meski begitu sebenarnya tak layak pula pengiraan bahwa hubungan
kalangan Islam dan kejawen sekarang harus tegang. Sebetulnya
antara Islam santri dan Islam abangan tidak ada apa-apa kata BPH
Prabuningrat. Politik pemerintahlah yang membuat mereka
terpecah. Pemerintah seolah memberi angin kepada aliran
kepercayaan untuk menandingi Islam. Jadi kalau umat Islam
memberi reaksi, itu wajar ....
Itu satu kenyataan. Di samping bahwa, seperti diharapkannya,
umat muslimin janganlah sampai mempunyai religious arrogancy,
kesombongan keagamaan.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo