Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
KAMI rangkumkan berikut ini gambaran perayaan lebaran di
beberapa tempat yang barangkali belum pernah anda saksikan,
setidak-tidaknya anda resapkan suasananya di Hari Idulfitri.
Dari AS pembantu kita Abdul Nur Adnan menceritakan suasana
ibadah segala bangsa di Washington, dengan beberapa sisipan oleh
Syu'bah Asa, sementara pembantu dari London menuturkan
kesan-kesannya yang sangat priba,li. Haji D. Lukman Wiraatmadja,
Atase Perhubungan pada KBRI di Tokyo, berbaik hati menyumbang
menuturkan kesibukan keluarga Indonesia di hari bahagia itu
--dengan tambahan di bagian akhir dari Chairil SD dari Antara
--sementara kami beruntung pula mendapat tulisan seorang bekas
tahanan politik yang penting di Pulau Buru, S.l. Poeradisastra.
DI WASHINGTON:
Sembahyang Di Tengah Penonton
Lebaran di Amerika? Tidak beda dengan hari biasa. Tidak ada hari
libur, tidak ada THR. Yang ingin ke mesjid tidak ada ampun:
harus ambil cuti. Tentu saja yang Islam tidak sayang untuk itu.
Tidak semua kota beruntung punya mesjid. Hanya kota-kota besar
seperti Washington, New York, Chicago dan berbagai kota lainnya
akhir-akhir ini. Tetapi mengapa musti mesjid Di aula
universitas, di ruang perpustakaan kota, di rumah pribadi,
semuanya bisa. Bahkan ada juga yang mengambil tempat di balai
pertemuan gereja!
Bagaimana dengan lapangan terbuka? Wah, lihat dulu cuacanya.
Kalau salju turun, atau lebaran jatuh di musim gugur atau musim
dingin, angan main-main. Kan Tuhan berfirman: "langan campakkan
dirimu ke dalam kebinasaan." Pada musim dingin, ayat itu bisa
berarti: "Jangan sembahyang di tengah lapangan . . .
Di Mesjid Washington, yang sudah terasa terlalu kecil itu,
takbiran mulai mengumandang pukul 8.00 pagi -- hingga saat
sembahyang pukul 10.00. Polisi lalulintas setempat ikut mengatur
mobil-mobil yang menyumpal Jalan Raya Massachussets yang elite.
Tidak seperti di Indonesia, di mana takbiran dipimpin imam dan
diikuti jemaah, muslimin Washington agaknya ingin menyuarakan
takbir sebanyak-banyaknya: mereka berdengung bersama-sama
terus-menerus tanpa disela-selai suara imam.
Mencerminkan wilayah para penganut Islam di dunia, bendera
negara-negara Islam pun dikibarkan di depan mesjid. Ditambah
tenda-tenda yang dibangun di halaman mesjid, yang tertutup rapat
-- untuk menolak dingin dari luar -- dan jemaah dengan berbagai
pakaian nasional warna-warni, peristiwa itu memang selalu
menarik perhatian orang yang lewat di jalan kelas satu itu.
Orang pada berhenti, nonton. Mereka mengelilingi halaman,
berdiri diam-diam satu dua lapis. Bahkan ada juga penonton
wanita, yang setelah ibadah selesai menghadiahi "sun" kepada
kenalannya (misalnya seorang mahasiswa asing) yang mungkin
tadinya diantarnya ke mesjid -- mengira bahwa ucapan selamat
model itu juga berlaku di kalangan muslimin. Hal itu takkan
dilakukan oleh orang Islam Amerika sendiri.
Memang lebaran di Washington bisa menjadi obyek turisme atau
sarana da'wah, tergantung cara anda melihat. Sebab di antara
mereka yang baru masuk Islam, sebagian juga berasal dari
"penonton" itu. Mereka umumnya cukup terkesan pada kenyataan
bahwa orangoran dari berbagai bangsa denan berbagai pakaian
dan tentu juga adat-istiadat, dan berbagai bahasa, bisa
bersama-sama sembahyang di satu "gereja".
Selain itu sembahyang Id di ibukota Amerika bisa juga
menimbulkan masalah fiqh. Begini: mesjid itu dibangun agaknya
dengan perhitungan, bahwa dalam waktu cukup lama muslimin di
sini tidak akan melebihi 1.000 orang. Karena itu bagian dalam
masjid yang tertutup, yang dilengkapi sistim pemanas dan
pendingin, hanya dapat menampung jemaah sebanyak itu.
Tahunya, dalam tempo 20 tahun jemaat mesjid tersebut sudah
berkembang biak sampai 20.000-an orang. Akibatnya pada peristiwa
besar seperti lebaran, pengunjung luber ke luar sampai harus
didirikan tenda-tenda. Pintu bagian dalam tidak mungkin dibuka
(agar udara dingin tidak masuk) sehingga antara jemaah di mesjid
dan jamaah dalam tenda tidak terjalin kesinambungan -- yang
menurut sementara orang merupakan satu syarat sembahyang
berjamaah'. Yang ada hanyalah hubungan melalui pengeras suara
dan dosed circuit TV. Nah, bolehkah kita makmum lewat radio dan
TV?
Soal lain lagi: mereka yang bersitegang dengan sembahyang Id
dilapangan, harap memikirkan juga bagaimana "nasib" mereka yang
hidup di negeri dingin seperti Amerika. Memang Nabi sendiri
dahulu sembahyang di mesjid kalau hari hujan.
Mengingat kepenuhan jamaah Id di mesjid itulah, Kedutaan Besar
RI yang terletak hanya beberapa ratus meter dari mesjid
menyelenggarakan juga sembahyang Id. Ini merupakan salah satu
prestasi Dubes Syarif Thayeb beberapa tahun lalu yang sampai
sekarang masih diteruskan. Dengan fasilitas ini banyak diplomat
muslim dan masyarakat Indonesia lainnya yang semula "tidak
sempat ke mesjid" -- meskipun setahun sekali-dengan alasan tidak
tahan dingin, sekarang boleh gembira.
Jamaah di KBRI itupun lumayan. Dengan mengikuti sembahyang di
tempat ini, sekaligus mereka dapat bermaaf-maafan dengan Bapak
Duta dan yang lain-lain. Sehabis sembahyang di rumah Dubes
biasanya terbuka dan malamnya masyarakat kita mengadakan halal
bihalal.
Di Mesjid Washington, selesai khotbah, orang pun mulai berdiri
berpeluk-pelukan sambil saling mengucap "Id mubarak". Tak pernah
terdengar ucapan "minal aidin walfaizin, maaf lahirbatin" --
kecuali dari orang Indonesia yang kebetulan berpapasan dengan
saudaranya setanah air. Kebiasaan itu memang khas Indonesia
rupanya seperti juga istilah 'halal bihalal' -- dicari di
seluruh dunia Islam lainnya tak bakal ketemu.
Di halaman mesjid, minuman dan makanan dari segala bangsa
melimpah. Malam sebelumnya di kantor mesjid, gadis-gadis Amerika
dengan rok dan kerudung mengatur makanan itu bersama panitia
yang menerima setoran zakat. Mereka bercanda sedikit-sedikit,
dan suasananya mengingatkan pada gadis-gadis fatayat atau
muslimat di kampung-kampung kita. Makanan itu dibagikan di hari
Id itu, sebagai tanda bahwa masa puasa sudah selesai.
Gadis-gadis Palestina yang cantik-cantik pun mengedarkan
kotak-kotak: dana pembebasan Palestina. Mahasiswa-mahasiswa Iran
sibuk mengumpulkan simpatisan untuk demonstrasi ke kedutaannya,
yang letaknya tidak jauh dari mesjid, untuk mengganyang Syah.
Saudara-saudara muslim hitam, menyebar majalah-majalah bernapas
agama yang mereka terbitkan.
Adapun yang Indonesia umumnya lebih suka bergegas pulang untuk
menghajar kupat-lontong, sambal goreng ati dan sate ayam yang
semuanya mudah mereka siapkan, meski tanpa daun kelapa muda atau
daun pisang. Mereka terpaksa memakai cara baru: kertas aluminium
dan bahan pewarna untuk mengganti sarana-sarana alam tadi.
Anak-anak pun menerima kado untuk memancing keriangan mereka --
sebagai ganti kado yang diterima kawan-kawan mereka yang Amerika
di hari Natal.
Dan di luar itu, Amerika tetap berjalan seperti biasa.
DI LONDON:
Berpeluk dengan Sepi
Sembahyang Id di London? Sudah tentu. Di London terdapat
kira-kira setengab juta umat muslimin, sementara di seluruh
Inggeris Raya tercatat sekitar 1 juta orang.
Para pemukim Islam pertama di negeri ini adalah para pelaut
India dan Pakistan -- yang mulai menetap kurang lebih seratus
tahun yang lalu. Jumlah itu meningkat cepat sekali sejak 1967,
ketika orang-orang India dan Pakistan mengalir dalam
gelombang-gelombang besar dari Afrika -- menyusul program
Afrikanisasi.
Dan meskipun hubungan Inggeris dengan dunia Islam sudah ada
sejak zaman perang salib, baru sekarang inilah London menjadi
pusat kebudayaan Islam untuk seluruh Eropa -- seperti halnya
Washington atau New York untuk seluruh benua Amerika.
Di tengah kota ini pulalah tegak Mesjid Raya London yang megah,
yang baru tahun lalu selesai dibangun dengan biaya empat juu
pound sterling (sekitar tiga milyar rupiah). Ruang utamanya-yang
terletak di bawah kubah -- bisa menampung 1500 orang, tapi
dengan digunakannya ruang bawah tanah dan seluruh pelataran di
depannya, mesjid ini dapat memuat kira-kira 10.000 ummat.
Tapi, ternyata, masih jua belum cukup. Karena itu sekalipun di
London ada sedikit-dikitnya tiga buah mesjid, Mesjid Raya London
masih juga harus melakukan tiga kali upacara sembahyang Id
sehari itu -- untuk menampung mereka yang terlambat, yang
rumahnya jauh dan yang tidak kebagian tempat.
Bagi masyarakat Indonesia, yang jumlahnya hampir tiga ribu orang
di seluruh Inggeris, kantor Kedutaan Besar menjadi tempat
berkumpul, baik untuk solat Id maupun untuk bersilaturahmi.
Setidak-tidaknya untuk mencari "suasana Indonesia". Dalam
saat-saat begini kerinduan pada kampung halaman sangat mencekam
hati. rerasa adanya sesuatu yang hilang, yang biasanya ada di
sekitar kami dan sekarang ini dibutuhkan sekali tapi tak muncul
keluarga, sahabat, tetangga, dan kebiasaan ziarah-menziarahi.
Kami berjabat tangan dan ber-minalaidin dengan rekan-rekan,
dengan para pejabat, tapi mana ayah, ibu, mana mertua dan
adik-adik? Mana tetangga yang tersenyum lebar mengulurkan
tangannya? Dan ke mana anak-anak kampung yang biasanya
beramai-ramai datang ke rumah dengan baju baru mereka, dan
mengucapkan "lamlekum Oom, lamlekum Tante, bagi sedekah dong?"
Setiap orang di kedutaan bertukar senyum dan berjabat tangan.
Lalu antre makanan di lorong sempit, seperti pada acara-acara
lain yang diadakan di kedutaan. Meja penuh dengan makanan --
tapi tak ada ketupat.
Di rumah, anak-beranak kami berpelukan dan terhenyak diam di
kursi besar. Isteri saya menangis, tapi mata saya pun panas
menahan genangan kesedihan karena hilangnya kebiasaan dan
keluarga. Bulan Ramadhan di Inggeris ini hanya mengizinkan kami
berbuka pada sekitar jam 8.30 malam -- sejak imsak jam tiga
subuh.
Selamat Hari Raya Idul Fitri di tanah air.
DI TOKYO:
Ramadhan Tanpa Klimaks
Selama ditempatkan di Tokyo, kami telah mengalami berpuasa
dalam beberapa musim -- karena memang tiap tahunnya selalu maju
2 minggu dibanding tahun Masehi. Kini jatuh pada musim panas
yang sangat terik. Waktu Imsak jam 02.50 dinihari, waktu berbuka
jam 06.42 sore.
Sungguh agak berat rasanya bagi kami. Bagi ibu-ibu barangkali
biasa saja, karena mereka dapat pergi ber-window shopping ke
dept. stores sesudah menyelesaikan tugas di rumah.
Yang terasa hampa ialah tidak adanya bedug yang berbunyi
membangunkan kami untuk makan sahur dan berbuka. Keluarga
Masyarakat Islam Indonesia (KMII) di Tokyo, mengadakan malam
tarawih di Balai Indonesia, dan setiap malamnya mendapat jemaah
cukup banyak -- 80 orang lebih. Yang menjadi imam dan yang
ceramah bergiliran, sehingga suasana akrab sekali. Selesai
sembahyang kami mengadakan tadarus dan disusul dengan acara
santai, yang juga seperti di Indonesia dinikmati dengan
bersantap makanan kecil yang dibawakan oleh ibu-ibu yang
menyumbang bergantian.
Suasana malam-malam tarawih seperti di Tanah Air saja rasanya.
Malam Nuzul'ul Qur'an diperingati dengan sederhana dan
gotong-royong. Bila malam takbiran datang, kami mengadakan buka
puasa bersama. Tiap keluarga menyumbang makanan yang telah
ditentukan.
Tapi penyelenggaraan lebaran sangat meriah. Undangan tidak
terbatas banyaknya, untuk siapa pun boleh, dan perayaan diadakan
di Wisma Iegara. Hidangan juga diusahakan agar sama benar
dengan hidangan khas Indonesia untuk lebaran, walaupun kami
harus berusaha mendatangkan dari Tanah Air. Pembayaran akat pun
dilaksanakan dengan baik, lalu dikirimkan ke Indonesia.
Kesimpulan Adanya empat musim menyebabkan perbedaan waktu puasa
yang agak menyolok. Ramadan di musim panas bisa 15 sampai 16
jam, sedang di musim dingin cuma 10 sampai 11 jam. Jadwal puasa
didapat dari Islamic Center setempat berdasarkan data Tokyo
Tenmondai (observatorium) di Mitaka.
Berpuasa di tengah masyarakat non-Islam seperti di Jepang,
godaan dan percobaannya lebih besar. Tapi kebalikannya
berarti memperkuat iman.
Selain tidak terdengarnya bunyi bedug, suatu hal yang sangat
dirasakan hilang bagi masyarakat Islam di rantau ialah tidak
adanya "klimaks". Klimaks itu ialah malam takbir seperti di
tanah air.
DI PULAU BURU:
Takbir Di Balik Terali
Tetapi di Pulau Buru, malam takbir dihidupkan dengan cukup
meriah. Di Inrehab (Instalasi Rehabilitasi) di sini pernah
bermukim kira-kira 12.000 tahanan politik G-30-S/PKI golongan B.
dengan dibebaskannya 1.501 orang tanggal 20 Desember 1977,
sekarang masih berdiam sekitar 10.500 orang, tersebar di 21 unit
dan sebuah pedesaan baru, Savanajaya. Di tempat terahhir ini
berdiam mereka yang keluaranya menyusul.
Bagi para tahanan ini, khususnya yang di unit-unit, sudah tentu
suka-duka berlebaran berbeda dengan di luar. Kecuali di Desa
Savanajaya, perekonomian di daerah Inrehab Pulau Buru diatur
oleh unit dan barak masing-masing. Hasil panen padi menjadi
milik unit, hasil panen palawija menjadi milik barak. Karena itu
barak-baraklah yang musti mengadakan persediaan lebaran.
Biasanya jauh-jauh hari mereka telah menyiapkan kacang kedelai
untuk dibuat tempe. Kalau satu barak tak punya kedelai, dicari
pinjaman dari barak lain -- atau kalau ada iin dari komandan
unit dipinjam dari unit lain. Karena di Pulau Buru tak ada batu
besar untuk dijadikan gilingan tahu juga tak ada bungkil kacang
tanah untuk membuat oncom, maka tempe merupakan hidangan yang
paling istimewa.
Dari jauh hari barak-barak juga telah mengadakan
'inventarisasi' jumlah itik, mentog (bebek Manila) dan ayam jago
yang akan disembelih Kambing tak ada. Sedang kerbau dan sapi
merupakan 'kawan sekerja' yang setia, sehingga tak boleh
dipotong. Di sebagian unit, di mana diizinkan beternak secara
perseorangan, kepada para warga barak diminta sumbangan sukarela
ternak sembelihan untuk hari besar ini. Sengaja dipilih yang
Jantan, karena menyembelih ternak betina, menurut kaidah yang
berlaku di Buru, merupakan suatu "dosa". Dari ternak dan
telurlah barak-barak mendapat uang atau 'cheque' untuk membeli
garam, minyak tanah, dan obat-obatan.
Keistimewaan lebaran di Buru adalah tak peduli apa agama
seseorang, ia akan sama menikmati hidangan yang disediakan.
(Pada tahun baru 1 Januari kaum muslimin pun menikmati
hidangan).
Dalam rangka perayaan lebaran diadakan pertunjukan drama dan
paduan suara, yang diikuti pula oleh teman-teman beragama lain.
Pernah dipentaskan drama Bilal ibn Rabah dan Yaum al Qiyamah
dengan pemainnya kebetulan sebagian besar bukan-muslim. Tak
mengapa. Pada gilirannya saudara-saudara Protestan dan Katolik
meminjam tenaga dramawan muslimin untuk cerita Natal! Saya
sendiri pernah di "bon" untuk mengarang drama Natal pada
Desember 1974. Keistimewaannya lagi: semua tokoh wanita
diperankan pria (sebab tak ada wanita, 'kan?). Ma'af saja, kalau
pada puncak adegan cinta yang mesra, suara kecil sang "wanita"
mendadak-sontak menggeram seperti suara banci Jalan Thamrin di
Jakarta. Inilah toleransi agama versi Buru.
Khusus bagi ummat Islam, setahun dua kali diadakan musabaqah
tilawatil Qur'an, biasanya pada bulan Rabiu'l awal (Maulud) dan
pada bulan Ramadhan. Peserta dan juri semuanya tapol. Mula-mula
pada tingkat sektor (di Inrehab Buru ada 3 sektor). Kemudian
se-lnrehab. Juara pertama biasanya ganti-berganti dari Banten
dan DKI Jaya -- gudang qari-qari Inrehab Buru. Ketika saya
ditugaskan komandan unit untuk menjadi anggota juri MTQ saya
menjadi kelabakan. Hanya tahu segenggam kecil Bahasa 'Arab,
pernah belajar sedikit makhraj dan tajwid, bagaimana dapat
menjadi juri kalau tak tahu aliran-aliran seni baca (qira'at)?
Tapi apa boleh buat, tugas musti dijalankan. Dan alhamdulillah
tak terjadi sesuatu malapetaka.
Yang paling menyenangkan bagi tapol adalah, kalau diizinkan
berlebaran ke unit-unit lain. Namanya beranjang seno (dari
bahasa Sunda nganjang = bertamu, sono = rindu). Gembira bukan
main: 60 kilometer pergi dan pulang ditempuh jalan kaki. Tak
perlu biaya, karena di mana-mana dijamu makan dan minum. Setiap
unit yang dilalui, mengajak singgah. Kalau kaki lecet, sepatu
atau sendal dijinjing. Kalau kemalaman minta minyak tanah di
barak yang disinggahi, membuat obor. Pokoknya bisa kembali ke
unit sebelum apel keesokan harinya.
Adapun bagi anak muda, idaman yang dirindukan pada setiap
lebaran tak lain mendapat izin ke Desa Savanajaya. Dapat
menikmati hidangan kue dan makanan -- yang dimasak oleh
tangan-tangan halus para ibu dan anak-anak dara. Dapat melihat
wajah-wajah yang tak kumal: wanita asli! Kalau Inrehab
mengeluarkan izin, gembiranya bagai orang bebas mendapat hadiah
Undian Harapan. Mungkin melebihi. Yah, walaupun di Savanajaya
tak boleh menginap. Biasanya menginap di Unit XIV/Bantalareja, 1
kilometer dari Savanajaya. Lagi pula izin ke Savanajaya tidak
mudah diperoleh: lebih sukar daripada lulusan SMA pelosok
diterima di FKUI Salemba.
Kira-kira 40-50% kaum muslimin di Buru berpuasa Ramadhan. Yaitu
yang kuat saja, karena tidak setiap orang mampu berpuasa sambil
mencangkul atau menggergaji pohon meranti. Bagi yang tak ada
halangan puasa, betul-betul lebaran membawa kegembiraan luar
biasa -- karena lulus dari menahan haus dan lapar di udara yang
panasnya lebih dari di Jawa. Saya sendiri, yang di luar 2-3 hari
batal puasa setiap Ramadhan, selama di Buru -- alhamdulillah!
--selalu lulus ujian: tak pernah batal, walau hanya berbuka
dengan singkong rebus, karena lepas tarawih pada umumnya orang
baru makan.
Pulang takbiran, menjelang lebaran besok, melayanglah pikiran
kepada anak dan isteri.
Kalau airmata menitik ke pipi, itu lumrah, bukan?
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo