Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Politik

Mawi lewat vatikan

Vatikan berminat terhadap pemilu dalam segi yang paling aktuil di indonesia. sebagian umat katolik tak ramah kepada mawi, kecewa terhadap vatikan yang campur tangan soal aktuil.

26 Juni 1971 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

LEBIH dahulu sebuah tjontoh. Tentang surat Paus tertanggal 14 Mei bulan lalu kepada Maurice Cardinal Roy Ketua Komite Vatikan untuk Keadilan dan Perdamaian, mingguan Le Monde, Paris menulis: "Orang-orang Kristen jang menentang usaha-usaha Geredja untuk bergerak bersama dunia modern boleh terganggu karenanja. Tapi dipihak lain". terhadap dokumen jang berbitjara tentang sikap politik Kristian dan mengetjam baik Marxisme atheistis maupun Kapitalisme dan Sosialisme itu, "soalnja apakah ia akan memuaskan harapan mereka jang ingin memodernisir Geredja dan mereka jang djustru begitu familier dengan dunia politik". Progressio. Tak ajal lagi itulah dua pola pandangan jang ditudjukan kepada Geredja Katolik: pertama dari mereka jang berharap Geredja tak usah melibatkan diri begitu djauh kedalam urusan-urusan non-rohani. Kedua dari mereka jang mengharapkan Geredja, dengan membaharui diri, tjukup elastis mendjawab perkembangan jang menjangkut nasib umat manusia dan tidak urung kaum Kristian sendiri. Kemudian keluarlah dari Vatikan pada 23 bulan itu. Communio Proressio, dokumen penting tentang kemerde-kaan pers dan hak tiap orang untuk mendapat berita, berikut kutukan kepada mereka jang memakai praktek-praktek kekerasan kepada pihak pers plus pemberian tempat bagi sensor hanja pada instansi terachir. Dengan dokumen jang urutannja dinilai sebagai tak terduga bisa keluar dari Vatikan dimana bertjokol pendapat-pendapat kolot ini, maka tuntutan-tuntutan mendesak seperti jang selalu ditondjol-tondjolkan pihak jang menghendaki pembaharuan Geredja tampaknja dirasa lebih patut untuk didjawab dan dituruti setjara tidak terlalu menjimpang dari tradisi lembaga agama jang tua. Dan kini Indonesia. Chususnja bagi kalangan kedua, jang tetap menaruh harapan pada kemungkinan-kemungkinan baru dari Geredja, tjukup alasan untuk bersjukur bahwa achirnja bapa-bapa jang biasa bergerak tenang dalam djubah-djubah surgawi itu menaruh minat terhadap pennilu dari seginja jang paling aktuil. Pernjataan 5 Djuni dari Presidium MAWI atau Madjelis Agung Waligeredja Indonesia jang dikeluarkan pada achir sidang jang diselenggarakan sedjak lima hari sebelumnja, dan jang mendesak pemerintah agar menghindarkan segala bentuk intimidasi dan paksaan dan manipulasi dan permainan tjurang sekitar pelaksanaan pemilu, tampaknja bukan didorong oleh satu ilham jang datang tiba-tiba. Sebab Mgr Leo Sukoto SJ, Uskup Agung Djakarta dan Sekretaris Presidium MAWI boleh diperkirakan bukan orang satu-satunja jang bisa mentjer-minkan sernatjam perasaan, umum dikalangan para monsigneur itu ketjemasan melihat dipraktekkannja tingkah laku jidak terpudji jang, menurut Leo Sukoto kepada reporter Harian Kami, boleh didapat dengan segera begitu orang pergi kedaerah-daerah "dan tidak hanja berputar-putar di Djakarta". Sembahan. Tapi berbareng dengan itu adalah rasa ketjewa karena, senada dengan sikap pihak Protestan dalam Sidang Raja VII Dewan Geredja-Geredja di Indonesia (DGI) 1971 dan tidak sama dengan sikap beberapa kalangan jang menganggap pemilu sebagai kesibukan jang sia-sia, Geredja Katolik jakin "ikut serta dalam pemilihan umum (bagi umatnja) merupakan salah satu djalan untuk ikut serta menjelenggarakan tudjuan negara demokrasi", seperti ditulis dalam Pedoman Kerdja Umat Katolik Indonesia MAWI 1970. Namun apa daja. Tingkah laku negatip runtjing jang mendorong Justinus Cardinal Darmojuwono, pemimpin tertinggi Geredja Katolik di Indonesia membubuhkan tandatangannja pada pernjataan Presidium dari madjelis 33 Uskup, dan tingkahlaku jang didjadikan objek ketjaman Mgr. Sukoto pribadi, telah memberikan warna-warna guram pada harapan jang relatif tjerah. Dan harapan jang dikandung para wali geredja boleh dipertjajai lebih dari sekedar "menangnja orang Katolik dalam pemilu" jang memang tak pernah diidamkan (setidak-tidaknja Geredja tidak mewadjibkan umatnja menusuk gambar tasbih), tapi adalah harapan jang didukung oleh rumusan Pedoman Kerdja MAWI sendiri: "Wadjib kerdjasama dengan pemerintah dalam usahanja untuk terus-menerus menjehatkan struktur politik, sehingga program pembangunan diutamakan dan dilaksanakan dengan sebaik-baiknja". Namun, walaupun perombakan struktur politik diidamkan dan walaupun ia ternjata -- setidak-tidaknja dalam utjapan -- bukan tjita-tjita jang tjuma dikandung satu golongan, ia samasekali bukan barang sembahan. Sebab "baik pemilihan umum maupun demokrasi sendiri harus kita anggap sebagai alat sadja, bukan sebagai tudjuan". Karena itulah segala tjara gagah-gagahan dan pengandalan kekuasaan demi keinginan apapun dan harapan baik apapun, tak dibenarkan. Prioritas. Sebab orang akan segera teringat hak azasi, jang sepandjang dipertjajai dari adjaran demi adjaran, termasuk hal paling penting dalam missi semua agama. Maka, adalah satu pertemuan internasional jang disebut World Conference Religion and Peace, diselenggarakan di Kyoto pada Oktober tahun kemarin. Dalam konperensi jang dihadiri sedikitnja 206 tokoh-tokoh dari setidak-tidaknja 10 agama, bukannja tidak diserukan kembali masalah jang peka ini. Bukannja tidak diandjurkan agar seluruh peserta mengambil bagian dalam usaha-usaha membangkitkan perhatian terus-menerus tentang hak-hak azasi seperti djuga tentang perdamaian dan keadilan sosial. Sjahdan ada ditegaskan bahwa apabila timbul masalah tentang prioritas antara keadilan sosial dan pertumbuhan ekonomi, keadilan sosial harus didahulu-kan. Bagaimana lagi tentang hak azasi? Alhasil apapun anggapan orang terhadap Geredja Katolik, jang dalam soal-soal jang disepakati membawa nama kaum agama, ia telah bitjara. Tidak mustahil bahwa ada kalangan Katolik sendiri jang tidak bermuka ramah terhadap pernjataan MAWI. Lebih-lebih terhadap utjapan-utjapan Mgr. Sukoto pribadi jang bukan tidak mungkin dituduh kekanak-kanakan dan tak bidjaksana. Seperti djuga tidak mustahil kalangan jang memberengut terhadap tjampur-tangan Vatikan dalam soal-soal jang dirasa kelewat aktuil, ketjewa terhadap sebagian sikap sang Paus. Namun sungguh mati bukan sekedar untuk memberi angin kepada kalangan Katolik jang menginginkan pemburuan Geredja apabila Arbischop Angelo Fernandes pada pembukaan konperensi di Kyoto menjatakan, bahwa "orang-orang agama tidak boleh hanja melihat dan tinggal mendoakan sadja bagi hari esok jang lebih baik". Dalam pendjelasannja empat hari setelah wawantjara "Harian Kami" dimuat dan di kutip koran-koran lain, Sukoto menolak celah mengutjapkan "Kata-kata jang kurang halus".

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus