Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
TEMPO.CO, Jakarta - Pakar hukum tata negara Bivitri Susanti mengatakan tak ada momentum konstitusional yang dapat menjadi alasan melakukan amandemen Undang-Undang Dasar 1945 saat ini. Ia membandingkan dengan sejumlah negara yang melakukan amandemen terhadap konstitusi mereka, serta intensi dari setiap perubahan.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Dalam literatur hukum tata negara, kata Bivitri, sebuah perubahan konstitusi tidak muncul dari ruang kosong. Namun ada momentum konstitusional yang mencerminkan dinamika politik dan relasi antarlembaga negara, penyelenggara negara dan warga, serta adanya konteks hak asasi manusia.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
"Tidak ada yang bisa kita namakan momentum konstitusional itu (untuk amandemen UUD 1945)," kata Bivitri dalam diskusi daring yang digelar ILUNI UI, Sabtu, 11 September 2021.
Bivitri mengatakan sejarah di berbagai negara menunjukkan adanya momentum konstitusional untuk mengubah konstitusi. Jerman, misalnya, mengubah konstitusi setelah Holocaust--peristiwa penyiksaan dan pembantaian orang Yahudi oleh rezim Nazi--maupun unifikasi Jerman Barat dan Jerman Timur.
Begitu pula sejarah di Indonesia mulai tahun 1945. Ketika itu, kata Bivitri, Bung Karno menekankan perlunya konstitusi bagi Indonesia sebagai negara yang baru merdeka. "Karena tidak mungkin sebuah bangsa tidak punya konstitusi, jadi ada momentumnya waktu itu," kata Bivitri.
Empat tahun berselang, konstitusi Indonesia berubah menjadi UUD Republik Indonesia Serikat. Bivitri mengatakan ini pun hasil dari negosiasi Konferensi Meja Bundar dengan pemerintah Belanda. Konstitusi Indonesia berubah lagi menjadi UUD Sementara 1950 ketika Republik Indonesia Serikat bubar dan kembali ke NKRI.
"Begitu juga amandemen 2002, jelas sekali 1998 kita keluar dari pemerintahan otoriter. Jadi political momentum itu nyata sekali," kata Bivitri.
Pengajar di Sekolah Tinggi Hukum (STH) Jentera ini mengatakan, hal serupa terjadi di Afrika Selatan yang mengubah konstitusi pasca-apartheid, serta Thailand yang beberapa kali mengubah konstitusi karena kudeta militer. Menurut Bivitri, jarang ada amandemen konstitusi yang lahir dari angan-angan para elite politik.
"Literatur hukum tata negara juga mencatat ada yang lahir dari angan-angan, tapi biasanya niatnya jelek," ucapnya.
Contohnya, Bivitri melanjutkan, yakni perubahan konstitusi Hungaria pada 2011. Ia mengatakan ada amandemen konstitusi yang dilakukan untuk kepentingan politik penguasa Hungaria sendiri, kendati dilakukan secara demokratik.
Contoh lainnya yang terjadi di Venezuela di bawah pemerintahan Hugo Chavez. Bivitri mengatakan, Hugo Chavez awalnya merupakan presiden yang sangat populer dan dielu-elukan.
"Tapi lama-lama power tends to corrupt, 2009 ia bahkan berhasil menghapus pembatasan masa jabatan presiden," kata Bivitri.
Baru-baru ini, ia mengimbuhkan, amandemen konstitusi juga dilakukan oleh pemerintah Guinea. Perubahan konstitusi di negara yang terletak di Afrika bagian barat itu memicu kudeta militer.
"Jadi biasanya intensinya jelek kalau itu adalah angan-angan elite politik," ujarnya.
Bivitri pun menyatakan tak setuju dengan amandemen UUD 1945 yang tengah bergulir di Tanah Air. Selain tak ada momentum konstitusional, ia menyoroti tak adanya proses yang partisipatif dalam rencana tersebut serta implikasi-implikasi hukum ketatanegaraan yang akan muncul.
BUDIARTI UTAMI PUTRI
Baca : Jokowi Tolak Perpanjangan Masa Jabatan, Fadjroel: Beliau Setia pada Amanah Reformasi