Baca berita dengan sedikit iklan, klik disini
TEMPO.CO, Jakarta - DPR RI bakal mengesahkan Perpu Nomor 2 Tahun 2022 alias Perpu Cipta Kerja hari ini, Selasa, 21 Maret 2023. Berdasarkan informasi dari laman resmi DPR, pembicaraan tingkat II atau pengambilan keputusan atas RUU Perpu Cipta Kerja menjadi UU digelar dalam rapat paripurna ke-19 dalam masa sidang IV tahun 2022-2023.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik disini
Sebelumnya, Perpu Cipta Kerja diteken Presiden Joko Widodo alias Jokowi pada Jumat, 30 Desember 2023. Keputusan itu lantas mengundang pro kontra dari berbagai kalangan. Tidak sedikit pihak yang mengecam keputusan Jokowi menerbitkan beleid tersebut.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik disini
Berikut sederet kontroversi ihwal Perpu Cipta Kerja dari berbagai kalangan:
Diklaim Mendesak oleh Pemerintah
Pemerintah mengklaim Perpu ini telah berpedoman pada peraturan perundangan dan Putusan Mahkamah Konstitusi atau MK Nomor 38/PUU7/2009. “Pertimbangannya adalah kebutuhan mendesak,” kata Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Airlangga Hartarto dalam konferensi pers di Istana Negara, Jumat, 30 Desember 2022.
Pemerintah, kata dia, perlu mempercepat antisipasi terhadap kondisi global terkait ekonomi. Airlangga menyebut Indonesia menghadapi resesi global peningkatan inflasi, ancaman stagflasi, dan juga beberapa negara sedang berkembang yang sudah masuk jadi pasien IMF. “Kondisi krisis ini sangat nyata untuk emerging developing country,” ujarnya.
Selanjutnya Denny Indrayana...
Denny Indrayana Sebut Jokowi Lecehkan MK
Mantan Wakil Menteri Hukum dan HAM Denny Indrayana menilai Jokowi telah melakukan Contempt of the Constitutional Court. “Presiden telah melakukan pelecehan atas putusan, dan kelembagaan Mahkamah Konstitusi (MK),” ujarnya.
Denny menyimpulkan Perpu Cipta Kerja memanfaatkan konsep kegentingan yang memaksa. Perpu ini pun menegasikan Putusan MK Nomor 91, sebab seharusnya ketika sebuah produk hukum dinyatakan tidak konstitusional pembuat undang-undang harus melaksanakan putusan MK tersebut.
"Bukan dengan menggugurkannya melalui perpu," ujar Ahli Hukum Tata Negara ini.
Sebelumnya, pada 25 November 2021, MK memutuskan Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja atau UU Cipta Kerja cacat secara formil. Lewat Putusan MK Nomor 91/PUU-XVIII/2020, Mahkamah menyatakan UU Cipta Kerja inkonstitusional bersyarat dan meminta pemerintah memperbaikinya paling lama 2 tahun
AHY: Tak Ada Argumen Kegentingan
Ketua Umum Partai Demokrat Agus Harimurti Yudhoyono alias AHY menilai omnibus law itu tidak sesuai dengan Amar Putusan MK Nomor 91/PUU-XVIII/2020 yang mengamanatkan pelibatan masyarakat dalam proses perbaikannya. “Selain terbatasnya pelibatan publik, sejumlah elemen masyarakat sipil juga mengeluhkan terbatasnya akses terhadap materi UU selama proses revisi,” ujar AHY dalam keterangan tertulis pada Senin, 2 Januari 2023.
Menurutnya, proses yang dilakukan pemerintah dalam menerbitkan aturan tersebut tidak tepat. Pasalnya, setelah dinyatakan inkonstitusional bersyarat, MK telah dengan jelas meminta perbaikan melalui proses legislasi yang aspiratif, partisipatif dan legitimate, bukan justru mengganti UU melalui Perpu.
Ia juga menilai tidak ada argumen kegentingan yang tampak dalam Perpu tersebut. Terlebih, menurut dia, tidak tampak perbedaan yang signifikan antara isi Perpu ini dengan materi UU Cipta Kerja sebelumnya.
Selanjutnya suara serikat pekerja...
Ditentang Keras Oleh Serikat Pekerja
Pertentangan keras terhadap Perpu Cipta Kerja disuarakan buruh sercara masif. Presiden Asosiasi Serikat Pekerja (Aspek) Indonesia Mirah Sumirat menyebutkan sejumlah poin bermasalah yang tidak pro, bahkan merugikan buruh. Pertama, soal outsourcing. Dalam UU Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan, poin outsourcing sudah jelas diberlakukan hanya pada sektor tertentu. Misalnya, sekuriti, cleaning service, pertambangan, cathering.
“Kalau di Perpu, betul ada pembatasan. Tapi ngambang. Akan diatur dalam PP selanjutnya, jadi nggak clear,” kata Mirah.
Poin kedua yang disoroti yakni mengenai tenaga kerja asing (TKA). Menurut Mirah, penggunaan TKA saat ini terlalu disederhanakan. Perusahaan yang membutuhkan TKA hanya perlu menyampaikan kebutuhannya ke Kementerian terkait, setelah itu TKA akan didatangkan.
Mirah menyebut ketentuan itu berbeda dengan peraturan dulu ketika ada sejumlah persyaratan yang dipenuhi. Misalnya, TKA yang bekerja di Indonesia adalah tenaga berkeahlian, bukan tenaga kasar, dan wajib berbahasa Indonesia. “Itu dihilangkan di Perpu,” ujar dia.
Poin ketiga, soal upah minimum. Dalam UU Nomor 13 Tahun 2003, kenaikan upah dihitung menggunakan inflasi ditambah pertumbuhan ekonomi. Selain itu ada komponen hidup layak atau KHL. Dalam Perpu Cipta Kerja, lanjut Mirah, ada perubahan, yakni pertumbuhan ekonomi ditambah inflasi, plus koefisien nilai tertentu.
Ketentuan itu bakal diatur lagi dalam PP. Namun yang menjadi persoalan, PP Nomor 36 Tahun 2021 tentang pengupahan belum dibatalkan. “Dalam PP 36 itu hanya diitung dua komponen pilihan. Inflasi atau pertumbuhan ekonomi,” ucap Mirah.
Persoalan lain dalam Perpu Cipta Kerja ini adalah hilangnya upah minimum sektoral kota/kabupaten (UMSK). Padahal, UMSK menjadi penting untuk membedakan sektor perusahaan yang ada. Selain itu, Mirah juga menyoroti pasal pesangon dan status karyawan kontrak. Belum lago ketentuan istirahat mingguan selama 1 hari dalam 6 hari kerja.
Adapun kontrak buruh yang semula dibatasi 3 tahun menjadi 5 tahun dan bisa terus diperpanjang. Mirah berujar, aturan ini pada praktiknya akan kacau. Jaminan sosial juga tidak didapatkan ketika buruh terus menerus berstatus menjadi karyawan kontrak.
“Ada tiga hal yang paling kami soroti. Tidak adanya kepastian upah, tidak ada kepastian status pekerjaan, dan tidak ada kepastian jaminan sosial dalam Perpu Cipta Kerka,” ucap Mirah. “Kami butuh jaminan, kepastian buruh untuk dapat upah layak berkeadilan, kepastian mendapat status pekerja tetap, dan kepastian jaminan sosial yang layak.”
Menteri Ketenagakerjaan Klaim Lindungi Pekerja
Menteri Ketenagakerjaan Ida Fauziyah mengklaim Perpu Cipta Kerja sebagai bukti komitmen pemerintah dalam memberi perlindungan adaptif bagi pekerja dan keberlangsungan usaha. Ida mengatakan substansi ketenagakerjaan dalam Perpu ini merupakan penyempurnaan dari regulasi sebelumnya, yakni UU Nomor 11 Tahun 2020 atau UU Cipta Kerja.
Selanjutnya beberapa substansi yang disempurnakan...
Beberapa substansi yang disempurnakan tersebut, yakni ketentuan alih daya atau outsourcing. Sebab, Perpu Cipta Kerja memberi batasan. “Dengan adanya pengaturan ini, tidak semua jenis pekerjaan dapat diserahkan ke perusahaan outsorcing,” kata Ida, Rabu, 4 Januari 2024, dikutip dari Antara.
Penghitungan upah minimum juga turut disempurnakan. Perpu Cipta Kerja mengatur kenaikan upah minimum dengan mempertimbangkan pertumbuhan ekonomi, inflasi, dan indeks tertentu. Ida juga mengatakan gubernur wajib menetapkan UMP dan dapat menentukan UMK yang lebih tinggi.
Selain itu juga mengenai penggunaan terminologi disabilitas yang disesuaikan dengan UU Nomor 8 Tahun 2016 tentang Penyandang Disabilitas. Kemudian, ada perbaikan rujukan dalam pasal yang mengatur waktu istirahat pekerja degan pengupahan yang dibayar penuh, serta terkait pemanfaatan Jaminan Kehilangan Pekerjaan.
Ida berujar, perubahan substansi ketenagakerjaan tersebut mengacu pada hasil serap aspirasi UU Cipta Kerja di beberapa daerah, seperti Manado, Medan, Makassar, Batam, Yogyakarta, Semarang, Balikpapan, dan Jakarta. Aspirasi tersebut kemudian dikaji oleh berbagai lembaga independen.
“Pemerintah kemudian melakukan pembahasan substansi yang perlu diubah. Pertimbangan utamanya adalah penciptaan dan peningkatan lapanan kerja, perlindungan pekerja/buruh, dan keberlangsungan usaha,” kata Ida.
WALHI: Perpu Cipta Kerja Mereduksi Makna Amdal
Pengkampanye Hutan Dan Kebun Wahana Lingkungan Hidup (Walhi) Uli Arta Siagian mengatakan Analisis Mengenai Dampak Lingkungan atau Amdal direduksi maknanya. “Yang sebelumnya dalam UU Nomor 32 tahun 2009 menjadi prasayarat wajib untuk izin lingkungan, sekarang hanya jadi pelengkap. Jadi tidak ada kata wajib bagi perusahaan untuk menyusun Amdal sebelum mereka beroperasi,” ujar Uli kepada Tempo.
Padahal, Uli melanjutkan, Amdal menjadi salah satu instrument paling penting untuk mengetahui dampak dari aktivitas yang akan dilakukan. Dengan begitu, dapat diketahui langkah-langkahh mitigasinya. Jika Amdal hanya dijadikan syarat dukungan, menurut Uli dampak buruk terhadap lingkungan akibat aktivitas ekonomi berbasis risiko tinggi sulit diminimalisir.
“Amdal yang dulu menjadi syarat wajib saja masih punya banyak persoalan, apalagi kalau kemudian diletakkan sebagai pelengkap,” ucap Uli.
Uli juga menyangkan aturan dalam penyusunan Amdal mempersempit keterlibatan penyusunan Amdal dengan hanya melibatkan pihak-pihak yang terdampak langsung. Sedangkan pemerhati lingkungan, organisasi lingkungan, dan pihak lain yang tidak terdampak langsung tidak dapat terlibat. Serupa dengan UU Cipta Kerja, keberadaan Komisi Penilai Amdal juga tidak diatur. Aturan ini berbeda dengan UU Nomor 32 Tahun 2003.
RIRI RAHAYU | FAJAR PEBRIANTO | RIANI SANUSI PUTRI | ANTARA