Baca berita dengan sedikit iklan, klik disini
TEMPO.CO, Jakarta - Presiden Joko Widodo alias Jokowi kembali memantik perdebatan khalayak ramai lantaran pernyataannya terkait netralitas presiden. Jokowi mengatakan bahwa presiden boleh kampanye dan memihak dalam pemilu.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik disini
"Presiden boleh kampanye. Boleh memihak di Pilpres 2024. Kita ini kan pejabat publik, sekaligus pejabat politik. Masa ini enggak boleh," kata Jokowi usai menyerahkan pesawat tempur ke TNI bersama Menteri Pertahanan Prabowo Subianto di Lanud Halim Perdanakusuma, Jakarta Timur, pada Rabu, 24 Januari 2024.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik disini
Menanggapi hal tersebut, Direktur Democracy and Electoral Empowerment Partnership (DEEP) Indonesia Neni Nur Hayati mengatakan bahwa tindakan tersebut berpotensi mengerahkan segala sumber daya kekuasaan, anggaran, dan program saat ini, digunakan memenangkan anaknya, Gibran Rakabuming Raka.
"Abuse of power in election benar-benar terasa. Apalagi presiden punya kekuatan dan kekuasaan yang demikian besar," kata Wakil Sekretaris Lembaga Hikmah dan Kebijakan Publik Pengurus Pusat Muhammadiyah, itu.
Pernyataan Presiden Jokowi bahwa presiden boleh kampanye dan memihak memicu banyak kritik. Namun, Neni berharap presiden tetap netral dan tidak berpihak kepada salah satu pasangan calon. Presiden mendapat mandat dari publik untuk bersikap netral.
"Presiden Jokowi diharapkan bersikap netral di Pilpres 2024 karena sedang menjabat dan mendapatkan mandat publik menggunakan pengaruh dan kekuasaannya untuk rakyat tanpa kecuali," ucap dia.
Apa itu Abuse of Power?
Dilansir dari jurnal berjudul An Overview nn The Abuse of Power in The Perspective of Corruption Law and Government Administration Law in Indonesia Based on The Criminal Justice System and The State Administration of The Justice System (2016) disebutkan beberapa bentuk penyalahgunaan kekuasaan (abuse of power).
Pertama, penyalahgunaan kekuasaan untuk melakukan tindakan yang berbenturan dengan kepentingan umum atau untuk kepentingan pribadi atau golongan. Kedua, penyalahgunaan kekuasaan dalam arti bahwa tindakan-tindakan pejabat negara benar untuk kepentingan umum, tetapi berbenturan dengan tujuan kekuasaan yang diberikan oleh undang-undang atau peraturan lainnya.
Terakhir, penyalahgunaan kekuasaan dengan cara menyalahgunakan prosedur yang seharusnya untuk mencapai tujuan tertentu. Penyalahgunaan kekuasaan juga disebut sebagai tindakan melawan hukum.
Kemudian, dalam jurnal berjudul Abuse of Power: Tinjauan Terhadap Penyalahgunaan Kekuasaan oleh Pejabat Publik di Indonesia (2017) disebutkan bahwa kekuasaan yang tidak terkendali akan berujung pada kesewenang-wenangan dan penyimpangan. Tindak penyalahgunaan kekuasaan sebagai besar berhubungan dengan korupsi, kolusi, dan nepotisme atau KKN.
MICHELLE GABRIELA | IKHSAN RELIUBUN | UIR.AC.ID | JURNAL.UNS.AC.ID
Pilihan editor: Soal Jokowi Sebut ASN Tak Boleh Berpihak Tapi Menteri dan Presiden Boleh Kampanye