Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Politik

Tes bukan vonis

Iq tinggi bukan jaminan sukses di sekolah atau di masyarakat. untuk memperoleh gambaran lebih baik terhadap seseorang, sebaiknya tes psikologi ditambah dengan tes kreatifitas. (pdk)

20 Oktober 1979 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

ANAK anda mendapat nilai rendah dalam tes psikologi? Tak perlu cemas. Tes yang kini populer itu ternyata tak diakui sendiri oleh sejumlah sarjana psikologi sebagai "dapat menangkap segala-galanya dari manusia." Ada sejumlah faktor lain yang menentukan keberhasilan seseorang dalam hidup. Dan ada suatu jenis tes yang kini belum dimasukkan dalam tes psikologi, yang oleh Dr Utami Munandar dianggap penting. Tes kreativitas. Itu semua diungkapkan dalam Simposium Sehari Mengenai Inteligensi, Bakat dan Tes IQ, di Hotel Arya Duta Hyatt, Kamis pekan lalu. Fakultas Psikologi UI bekerja sama dengan majalah psikologi Anda dan PT Kalman Book Service mengadakan simposium ini untuk mengisi Tahun Internasional Anak, sekaligus memperingati 100 tahun laboratorium psikologi pertama di dunia: Laboratorium Wilhelm Wundt, di Leipzig, Jerman Timur sekarang. Pemilihan topik memang aktual. Beberapa penceramah (10 orang, terdiri dari 9 sarjana psikologi dan seorang dokter) sempat menuturkan meningkatnya minat masyarakat terhadap tes psikologi atau yang umum dikenal sebagai psiko-tes. Tapi minat itu juga disertai kesalahpahaman tentang tes tersebut. Banyak orang mengira, mendapat nilai rendah dalam tes tersebut berarti tak punya harapan untuk maju. Menurut Ny. Ilsiana Jatiputra, sarjana psikologi UI 1968, tes psikologi ada berjenis-jenis ada tes inteligensi, tes bakat, tes kepribadian. Tapi, baik Ny. Ilsiana sendiri maupun yang lain-lain--juga Ny. Saparinah Sadli, Dekan Fak. Psikologi UI dalam sambutan--menekankan bahwa semua itu hanyalah sekedar beberapa usaha untuk memperoleh gambaran yang bisa saja salah. Tes psikologi bukanlah vonis bagi seseorang--walaupun, "hasilnya dapat membantu memperoleh pengertian lebih baik dan mendalam mengenai orang yang dites," tulis Ny. Sadli. Doktor psikologi itu memberi peringatan: "Manusia sebagai makhluk biososial dan spiritual tak pernah boleh, dan juga tak dapat, diredusir menjadi ukuran kuantitatif belaka." Sebab dalam kehidupan nyata banyak faktor lain -- misalnya: lingkungan, motivasi, gangguan emosi --yang mempengaruhi prestasi inteligensi maupun bentuk kepribadian seseorang sehingga menyimpang dari hasil tes psikologinya. Tentu saja tes psikologi tetap bisa dimanfaatkan. Contohnya seperti yang diuraikan Ny. Ilsiana. Seorang ibu bingung, karena anaknya yang duduk di kelas IV SD menurun prestasi belajarnya. Padahal di kelas-kelas sebelumnya dia tergolong pandai. Tes inteligensi menunjukkan anak itu tergolong berinteligensi rata-rata. adi masih ada harapan. Dari tes kepribadian, diketahui anak tersebut ternyata sangat takut kehilangan teman, takut berbuat lain dari temantemannya. Dari hasil tes inteligensi tersebut, juga diperoleh kemungkinan bahwa anak yang hanya berinteligensi rata-rata itu diharapkan oleh guru atau orangtuanya agar berprestasi tinggi. Dan kedua jenis tekanan mental itu bisa membuat si anak tidak tenteram dan menurunlah prestasi belajarnya. Ny. Utami Munandar, yang memperoleh doktornya tahun 1977 dari Fak Psikologi UI, mempersoalkan kenyataan: siswa-siswa yang dari tes inteligensi diketahui mempunyai IQ (ukuran tingkat kecerdasan) tinggi, ternyata tak selamanya sukses di sekolah atau di masyarakat. Di Jerman, 1974, pernah diadakan penelitian terhadap sejumlah anak yang demikian itu. Perkembangan mereka diikuti selama 20 tahun. Hasilnya: tak semua dari mereka berhasil mengembangkan karier. Banyak yang kemudian bekerja di bidang pekerjaan yang tak mencerminkan dibutuhkannya IQ tinggi, misalnya: tukang kebun, tukang kayu, juru tik. Dengan mengutip Guilford, seorang ahli psikologi Amerika Serikat, Ny. Munandar mengatakan tes inteligensi h anyalah tes untuk mengukur kemampuan seseorang menjawab atau menyimpulkan secara logis persoalan yang diberikan. Sedang untuk mendapatkan gambaran kemampuan seseorang sepenuhnya, masih dibutuhkan jenis tes lain yang disebut tes kreativitas. Tes yang belakangan ini untuk mengetahui kemampuan memberikan macam-macam alternatif pada sesuatu problim. Membentur Suami Memang benar ada hubungan erat antara inteligensi dan kreativitas. Seseorang dengan inteligensi rendah susah diharapkan kreatif. Tapi yang berinteligensi tinggi juga belum tentu. Padahal, kemampuan kreatif itulah justru yang sering membantu orang keluar dari rnasalah. Sejumlah ahli psikologi Barat mengadakan riset tentang ini. Sekelompok anak berinteligensi tinggi diminta memberikan komentar terhadap gambar seorang pria yang duduk bahagia dalam sebuah pesawat terbang. Mereka rata-rata berkata: orang itu baru saja berhasil dalam sesuatu bisnis, dan bahagia membayangkan pertemuannya kembali dengan anak isteri. Yang dari kelompok kreativitas tinggi rnemberi komentar misalnya: orang itu bahagia karena berhasil bercerai dengan isterinya yang suka sekali memakai minyak rambut yang licin, sehingga sering kepalanya tergelincir dari bantal dan membentur kepala suaminya. Dan kini, orang itu sedang memikirkan minyak rambut yang anti selip. Ternyata yang berkreativitas tinggi lebih bebas dalam mengutarakan pendapat--juga banyak humornya. Dan anak yang mempunyai kreativitas tinggi cenderung memilih karier yang tidak konvensional, yang kadang menyimpang dari harapan guru atau orangtua. Sedang yang berinteligensi tinggi cenderung memilih pekerjaan konvensional. Tahun 1977, Ny. Munandar pernah mengadakan riset terhadap sejumlah guru dan orangtua murid SD dan SMP di Jakarta. Hasilnya: para guru dan orangtua ternyata lebih menyenangi anak yang berinteligensi tinggi daripada yang kreativitasnya tinggi. Yang kemudian dlsayangkan Ny. Munandar: "Tentunya anak-anak dengan kreativitas tinggi lalu tak mendapat dorongan baik." Dengan begitu kesempatannya mengembangkan kreativitas jadi terhambat. Perhatian kepada simposium itu memang lumayam Sekitar 200 pendaftar terpaksa ditolak karena penyelenggara hanya membatasi peserta sampai 300 saja. Sebagian besar terdiri dari ibu-ibu. "Banyak gunanya simposium ini. Sekarang saya jadi tahu apa gunanya psikotes itu," kata seorang ibu yang puteranya sudah duduk di SMP. "Eh, ternyata hasil psiko tes rendah tak harus dicemaskan," kata ibu yang lain. Sambungnya: "Tapi kalau sekolah mengadakan psiko tes dan hanya yang berhasil yang diterima, bagaimana ya?"

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus