Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
TEMPO.CO, Jakarta - Profesor Riset sekaligus Peneliti Ahli Utama di Organisasi Riset Tenaga Nuklir, Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN), Djarot S. Wisnubroto, menjelaskan bahwa dalam pembangunan Pembangkit Listrik Tenaga Nuklir (PLTN) di Indonesia memiliki beberapa tantangan. Namun, menurut dia, tantangan utamanya bukan dari segi pengembangan teknologi untuk PLTN.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
“Tapi tantangannya justru dari segi sosial dan politik, kapan diputuskan secara resmi akan membangun PLTN, dan kapan go nuclear,” ujar dia dalam acara virtual bertajuk ‘Prof Talk: Siapkah Energi Nuklir Mendukung Net Zero Emission Indonesia?’, Selasa, 16 November 2021.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Djarot yang merupakan Kepala Badan Tenaga Nuklir Nasional (BATAN) periode 2012-2018 itu mengatakan penggunaan energi nuklir memang selalu menjadi isu kontroversial, yang bukan hanya terjadi di Indonesia, tapi juga di banyak negara. Oleh karena itu, para ilmuwan juga harus siap memberikan penjelasan berbasis bukti dan penelitian mengenai bagaimana keamanan dan manfaat energi nuklir.
“Persepsi memang akan berbeda, itu faktanya, tapi persepsi bahwa nuklir adalah energi paling aman sulit diterima. Ada masalah sosial budaya dan sebagainya, karena audiensnya bisa jadi sangat beragam,” katanya lagi.
Selain itu, tantangan lainnya adalah proses pembangunan yang lama dan mahal. Djarot memberikan contoh PLTN yang baru saja beroperasi di Uni Emirat Arab—yang dibangun atas kerja sama dengan Korea Selatan dengan total 4x1.350 MW. Saat ini, unit PLTN Barakah 1 dan 2 sudah beroperasi, dan Barakah 3 dan 4 akan beroperasi dalam waktu dekat.
“Mereka membutuhkan waktu yang lama. Pada 2009 mengumumkan vendornya siapa dan tahun ini mulai beroperasi. Itu tantangannya,” tutur Djarot sambil menambahkan biayanya cukup mahal sekitar US$ 24,4 miliar atau setara dengan Rp 348 triliun.
Hal yang perlu dipikirkan juga adalah mengantisipasi kebocoran reaktor dan bagaimana pengelolaan limbah radioaktifnya. “Serta apakah kita bisa mengelola teknologi berisiko, sementara kita memiliki budaya keselamatan yang rendah.”
Lulusan S3 Bidang Nuclear Engineering School, University of Tokyo Jepang, itu juga membeberkan bahwa secara objektif energi nuklir memiliki faktor pendukung, yaitu emisi karbon rendah dan bisa beroperasi dua tahun terus-menerus dengan daya yang besar. Selain itu, harga listrik kompetitif (meski batu bara yang paling murah), dan harga bahan bakar tidak mempengaruhi harga listrik dari PLTN.
“Tapi secara umum, sebenarnya sumber daya manusia dan infrastruktur di Indonesia sudah siap dalam program pembangunan PLTN,” ujar Djarot sambil menambahkan bahwa tidak hanya siap dalam hal reaktornya saja, termasuk pengelolaan limbah radioaktif, dan ikut mendesain bagaimana reaktornya.
Sementara, Kepala BRIN Laksana Tri Handoko, Indonesia serius mewujudkan komitmen Net Zero Emission (NZE) pada 2060 atau lebih cepat, salah satu caranya dengan mewacanakan pembangunan PLTN pertama yang dimulai dengan commercial operation date (COD) pada 2045. “Dan BRIN harus siap,” tutur Handoko.
Mantan Kepala Lembaga Ilmu Pengetahun Indonesia itu mengatakan BRIN sebagai lembaga manajemen harus melihat secara jernih apa yang harus dilakukan untuk ikut berkontribusi. BRIN, melalui peneliti dan perisetnya, sudah paham bahwa PLTN itu adalah komoditas, sehingga tentu tidak bisa melakukan pembangunan, tapi dari segi risetnya saja.
“Pada akhirnya kita menyadari karena semua peneliti tentu akan berbasis riset dan fakta saintifik, dengan hitung-hitungan rasional dan ilmiah berbasis data solid,” ujar Handoko.
Selain itu, Handoko melanjutkan, BRIN akan membantu teknologi apa yang baik untuk membantu PLTN, apakah PLTN generasi ketiga yang sudah terbukti, atau generasi keempat. Jadi, menurut dia, hal itu menjadi sesuatu yang perlu dipikirkan bersama, tidak bisa diputuskan dan ditetapkan secara impulsif. “Untuk itu pemikiran khususnya dari profesor dan periset sangat diharapkan.”
Baca:
Pakar BRIN Sebut PLTN Bisa Jadi Solusi Target Net Zero Emission
Selalu update info terkini. Simak breaking news dan berita pilihan dari Tempo.co di kanal Telegram “Tempo.co Update”. Klik https://t.me/tempodotcoupdate untuk bergabung. Anda perlu meng-install aplikasi Telegram terlebih dahulu.