Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
JAKARTA – Tiga menit setelah mendapat pengumuman dari Kementerian Ketenagakerjaan pada 16 November 2022, Surnadi buru-buru mengabari kawan-kawannya di serikat pekerja dan buruh mengenai rencana pemerintah tidak menggunakan Peraturan Pemerintah Nomor 36 Tahun 2021 sebagai dasar penetapan upah minimum tahun depan. Ia meminta perwakilan buruh di dewan pengupahan provinsi dan kabupaten/kota menunda rapat pengupahan hingga 18 November guna menunggu pengumuman kebijakan anyar dari pemerintah.
Wakil Ketua Dewan Pengupahan Nasional (Depenas) dari unsur serikat pekerja dan serikat buruh itu menilai informasi tersebut sangat penting lantaran tidak pernah dibicarakan sebelumnya di Dewan Pengupahan. Padahal, berdasarkan Keputusan Presiden Nomor 107 Tahun 2004, Dewan Pengupahan bertugas memberikan saran dan pertimbangan kepada pemerintah dalam rangka perumusan kebijakan pengupahan.
Surnadi kaget saat mendengar kabar dari pemerintah mengenai hal-hal yang dituangkan dalam Peraturan Menteri Ketenagakerjaan Nomor 18 Tahun 2022 tentang Penetapan Upah Minimum Tahun 2023 tersebut. Pengumuman itu, kata dia, disampaikan tiga hari sebelum Menteri Ketenagakerjaan Ida Fauziyah mengunggah konten penjelasan di akun YouTube resmi kementeriannya pada 19 November.
"Kami hanya mendengarkan, enggak bisa nanya, enggak bisa protes, enggak bisa komplain. Karena itu diumumkan Bu Indah (Direktur Jenderal Pembinaan Hubungan Industrial dan Jaminan Sosial Ketenagakerjaan, Indah Anggoro Putri). Beliau sedang mengikuti G20 di Bali," ujar Surnadi menceritakan kembali beberapa peristiwa mengenai penerbitan aturan tersebut kepada Tempo, kemarin, 22 November.
Ketua Dewan Pengupahan Nasional, Indah Anggoro Putri. ANTARA/HO-Kemnaker
Pertemuan Mendadak Dewan Pengupahan
Pertemuan yang dipimpin oleh Indah Anggoro, yang juga Ketua Dewan Pengupahan Nasional, pada 16 November lalu itu, tutur Sunardi, dilakukan secara virtual melalui platform Zoom. Peserta rapat adalah sekitar enam hingga delapan anggota Dewan Pengupahan. "Undangannya mendadak, sekitar pukul 11.00 untuk rapat pukul 12.00 WIB," kata pengurus Konfederasi Serikat Buruh Seluruh Indonesia itu.
Selepas pertemuan tersebut, ia baru mengetahui bahwa kebijakan yang ditempuh pemerintah pada akhirnya berbeda dengan yang sudah didiskusikan di Dewan Pengupahan. Sebagai catatan, Dewan Pengupahan terdiri atas unsur pemerintah, organisasi pengusaha, serikat pekerja atau buruh, akademikus, dan pakar.
Berdasarkan dokumen di Jaringan Dokumen dan Informasi Hukum Kementerian Ketenagakerjaan, Ida Fauziyah telah menetapkan Peraturan Menaker Nomor 18 Tahun 2022 pada 16 November 2022 dan diundangkan pada 17 November 2022.
Sebelum pengumuman pada 16 November, kata Surnadi, diskusi yang berjalan di Dewan Pengupahan masih mengarah pada penggunaan PP 36 Tahun 2021 sebagai dasar penghitungan upah minimum 2023. Hanya, serikat pekerja menginginkan agar penghitungan upah minimum itu juga memasukkan dampak kenaikan harga bahan bakar minyak, yang belum diperhitungkan pada formula dalam aturan turunan Undang-Undang Cipta Kerja tersebut.
"Tapi, begitu posisi-posisi mendekat (pengumuman soal upah minimum 2023) di tanggal 16 kemarin, tiba-tiba (kebijakannya) berubah dan Dewan Pengupahan tidak dilibatkan," ujar Surnadi. Sontak, berbagai komentar dan pertanyaan pun muncul di grup percakapan Dewan Pengupahan. Ia sendiri memiliki beberapa catatan mengenai formula baru itu, khususnya pada Pasal 6 dan 7, yang memuat formula penghitungan upah minimum serta batas maksimum kenaikan upah minimum.
Pada Pasal 6 mengenai formula, misalnya, Surnadi melihat pemerintah tidak cukup memiliki data untuk menentukan nilai variabel alfa, sebuah indeks yang menggambarkan kontribusi tenaga kerja terhadap pertumbuhan ekonomi. Selain itu, ia mempertanyakan adanya nilai batas maksimum dari hasil penghitungan tersebut. "Jadi, formula itu harus dihitung, tapi harus dibatasi juga, harusnya enggak bisa," tutur dia.
Meski demikian, kata Surnadi, kini Dewan Pengupahan Nasional tak lagi terlibat dalam penerapan aturan baru tersebut lantaran kini keputusan ada di tingkat daerah. Pemerintah pun memperpanjang batas akhir pengumuman upah minimum provinsi menjadi 28 November 2022, sedangkan upah minimum kota atau kabupaten diberi waktu hingga 7 Desember 2022.
"Enggak tahu akan seperti apa nanti implementasi di lapangan," ujar Surnadi. Kendati yakin buruh cukup senang atas keputusan pemerintah tak lagi menggunakan PP 36 Tahun 2021, ia khawatir akan ada polemik berkepanjangan akibat aturan baru pemerintah tersebut.
Apalagi, tutur Surnadi, aturan itu rentan digugat lantaran dianggap bertentangan dengan PP 36 Tahun 2021 yang secara hierarki memiliki posisi lebih tinggi dari peraturan tingkat menteri. "Ya, jelas ini memberikan ketidakpastian bagi buruh. Dari sisi ekonomi pun investasi mau masuk jadi bingung. Ini belum apa-apa nanti sudah digugat lagi, kita yang kena," ujar dia. Ia pun menyarankan pemerintah agar menerbitkan peraturan pemerintah pengganti undang-undang untuk melandasi kebijakan baru pengupahan tersebut ketimbang hanya menggunakan peraturan menteri.
Tempo berupaya menghubungi Wakil Ketua Dewan Pengupahan Nasional dari unsur pengusaha, Adi Mahfudz, untuk menanyakan soal pelibatan Dewan Pengupahan dalam pembahasan mengenai peraturan baru pengupahan tersebut. Namun ia mengarahkan Tempo untuk menghubungi Surnadi.
Apindo Mempersoalkan Aturan Baru Penghitungan Upah Minimum
Sebelumnya, Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo) mempersoalkan terbitnya Permenaker Nomor 18 Tahun 2022 tersebut. "Kalau peraturan menteri yang tidak sejalan dengan undang-undang atau peraturan pemerintah, benar atau salah? Itu saja," ujar Ketua Bidang Ketenagakerjaan Apindo, Antonius Joenoes Supit. Kendati demikian, ia mengatakan asosiasinya masih akan melakukan diskusi internal untuk membahas langkah berikutnya atas peraturan menteri tersebut. “(Apakah akan menggugat) kami akan berdiskusi secara internal,” kata dia.
Ini bukan pertama kalinya asosiasi pengusaha mempersoalkan aturan pengupahan. Sebelumnya, Apindo DKI Jakarta menggugat Keputusan Gubernur DKI Jakarta Nomor 1517 Tahun 2021 yang merupakan revisi dari Keputusan Gubernur DKI Nomor 1359 Tahun 2021 tentang Upah Minimum Provinsi Tahun 2022 ke Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN).
Dengan revisi itu, Gubernur DKI menaikkan UMP 2022 untuk pekerja di bawah masa kerja satu tahun sebesar 5,1 persen. Angkanya menjadi Rp 4.641.854 dari ketetapan sebelumnya berdasarkan formula dalam PP Nomor 36 Tahun 2021, yang hanya naik 0,85 persen menjadi sebesar Rp 4.453.935.
PTUN Jakarta kemudian mengabulkan sebagian gugatan Apindo pada 12 Juli 2022. Dalam putusannya, majelis hakim PTUN Jakarta membatalkan Keputusan Gubernur DKI Jakarta Nomor 1517 Tahun 2021 yang mengatur UMP naik 5,1 persen menjadi Rp 4.641.854. Kemudian majelis hakim mewajibkan tergugat, yakni Gubernur DKI, mencabut keputusan tersebut. Pemerintah Provinsi DKI Jakarta sempat mengajukan banding, tapi ditolak PTUN.
Selain Apindo, perkara landasan hukum pengupahan itu dipertanyakan oleh Kamar Dagang dan Industri (Kadin) Indonesia. Ketua Umum Kadin Indonesia, Arsjad Rasjid, mengatakan pengupahan memiliki landasan hukum melalui PP 36 Tahun 2021. "Artinya, ada dualisme dasar hukum dengan hadirnya Permenaker Nomor 18 Tahun 2022. Namun, pada dasarnya, kami berharap adanya kebijakan secara holistik, adil, dan inklusif yang mempertimbangkan semua kepentingan pihak terkait,” kata dia.
Arsjad menjelaskan, di tengah situasi ekonomi yang terimbas berbagai situasi global, kebijakan pengupahan juga harus mempertimbangkan keberlangsungan usaha pada setiap sektor agar tidak kontraproduktif. Ia mengatakan tidak semua sektor memiliki pertumbuhan dan iklim bisnis yang sama saat ini. Karena itu, kebijakan kenaikan upah minimum pada satu periode semestinya menargetkan industri dengan laju pertumbuhan ekonomi terbesar pada periode tersebut. Jika tidak, kebijakan kenaikan upah tersebut akan memberatkan pelaku usaha.
Menurut dia, keberlangsungan usaha di tengah situasi ekonomi saat ini penting untuk dilindungi agar dapat memastikan ketersediaan lapangan pekerjaan, mengurangi pengangguran, dan meningkatkan kesejahteraan masyarakat. Karena itu, pihaknya mengedepankan dialog sosial dan musyawarah untuk mufakat demi mencapai titik tengah antara tenaga kerja dan industri.
Tempo telah menanyakan duduk perkara dan rencana mitigasi yang akan dilakukan pemerintah atas potensi polemik tersebut kepada Menteri Ketenagakerjaan Ida Fauziyah, Sekretaris Jenderal Kemnaker Anwar Sanusi, Dirjen PHI dan Jaminan Sosial Kemnaker Indah Anggoro Putri, serta Direktur Pengupahan Kemnaker Dinar Titus Jogaswitani. Namun, hingga laporan ini ditulis, pertanyaan Tempo melalui aplikasi perpesanan tidak berbalas.
Sebelumnya, dalam video yang diunggah di YouTube Kemnaker, Ida Fauziyah menjelaskan bahwa PP 36 Tahun 2021 tak menjadi acuan penghitungan upah minimum 2023 karena dinilai belum mengakomodasi dampak kenaikan inflasi. Ia khawatir formula lama akan mengakibatkan daya beli pekerja kian turun pada tahun depan.
Ida mengatakan pemerintah perlu menjaga daya beli dan fluktuasi harga lantaran struktur ekonomi nasional disumbang oleh konsumsi masyarakat. Apalagi, kata Ida, saat ini kondisi sosial-ekonomi masyarakat akibat dampak pandemi Covid-19 belum sepenuhnya pulih. Ditambah ketidakpastian ekonomi global menguat sehingga menekan laju pemulihan ekonomi nasional.
Karena pemerintah menilai pemulihan ekonomi nasional merupakan hal mendesak saat ini, Kemnaker pun memutuskan untuk mengubah formula upah minimum 2023. Kini, penghitungan upah mengacu pada kemampuan daya beli yang diwakili oleh variabel tingkat inflasi serta pertumbuhan ekonomi dari indikator produktivitas dan perluasan kesempatan kerja.
Pakar hukum tata negara dari Universitas Mulawarman, Herdiansyah Hamzah, membenarkan adanya potensi polemik akibat perkara hukum dari peraturan baru pengupahan itu. Ia mengatakan Permenaker Nomor 18 Tahun 2022 rentan digugat. Sebab, secara hierarki, kedudukan aturan itu lebih rendah dari PP 36 Tahun 2021, sehingga seharusnya tidak boleh mengesampingkan atau bertentangan dengan peraturan di atasnya.
Kedua, kata dia, amar putusan MK Nomor 91 Tahun 2020 yang menyatakan UU Cipta Kerja inkonstitusional bersyarat tegas memerintahkan agar tidak boleh ada kebijakan strategis turunan UU Cipta Kerja sampai undang-undang tersebut diperbaiki selama kurun waktu dua tahun sejak putusan MK itu dibacakan. "Jadi, Permenaker 18 Tahun 2022, yang notabene turunan UU Cipta Kerja, itu bertentangan dengan putusan MK," kata Herdiansyah.
Di sisi lain, Herdiansyah melihat terbitnya Permenaker 18 Tahun 2022 menandakan pemerintah inkonsisten dengan aturan yang mereka buat sendiri dalam PP 36 Tahun 2021. Selain itu, hal ini dianggap menjadi bukti bahwa rumusan penghitungan upah minimum yang diatur dalam peraturan turunan UU Cipta Kerja tersebut memang tidak proburuh. Musababnya, PP itu tidak mengakomodasi kebutuhan buruh secara layak.
Semangat PP 36 Tahun 2021, menurut Herdiansyah, cenderung mempertahankan politik upah murah yang diwariskan oleh Orde Baru dulu. "Jadi, PP 36 Tahun 2021 itu yang semestinya direvisi, di mana formulasi penghitungan upah itu semestinya dikembalikan pada metode yang sesuai dengan survei kehidupan hidup layak (KHL) yang jauh lebih menjamin daya beli buruh," ujar dia. Metode survei KHL yang dilakukan setiap tahun juga dianggap lebih partisipatif karena melibatkan elemen buruh sebagai pihak yang paling merasakan dampak kebijakan pengupahan.
CAESAR AKBAR | NABILLA FADILLA | KHORY ALFARIZI
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo