Scroll ke bawah untuk membaca berita

Logo
Bisnis

Pelaksanaan UU Jaminan Produk Halal Dinilai Serba Terburu-buru

Ombudsman menuturkan pemberlakuan sertifikasi halal yang tertuang dalam UU tentang Jaminan Produk Halal berpotensi maladministrasi

18 Oktober 2019 | 16.31 WIB

Anggota Ombudsman RI, Ahmad Suaedy; host diskusi Perspektif Indonesia, Ichan Loulembah; anggota Komisi Kesehatan DPR, Irma Suryani; dan pelaku industri kesehatan, Anthony Charles Sunarjo dalam diskusi soal pelecehan seksual di RS National Hospital, di Gado-Gado Boplo, Jakarta, 27 Januari 2018. Tempo / Friski Riana
Perbesar
Anggota Ombudsman RI, Ahmad Suaedy; host diskusi Perspektif Indonesia, Ichan Loulembah; anggota Komisi Kesehatan DPR, Irma Suryani; dan pelaku industri kesehatan, Anthony Charles Sunarjo dalam diskusi soal pelecehan seksual di RS National Hospital, di Gado-Gado Boplo, Jakarta, 27 Januari 2018. Tempo / Friski Riana

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Logo

TEMPO.CO, Jakarta - Anggota Ombudsman Ahmad Suaedy menuturkan pemberlakuan sertifikasi halal yang tertuang dalam Undang-undang Nomor 33 Tahun 2014 tentang Jaminan Produk Halal (JPH) berpotensi terjadi maladminisitrasi. Ia menilai pemerintah masih belum siap menerapkannya lantaran masih banyak kekurangan instrumen hingga waktu pemberlakukan pada 17 Oktober lalu.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Logo

Seharusnya, kata dia, setelah menerbitkan Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 31 tahun 2019 sudah diikuti penerbitan Peraturan Menteri Agama (PMA) untuk mengatur pedoman, tarif, hingga ketentuan lembaga pemeriksa halal (LPH).

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

"Jadi, kalau kami bilang ada maladministrasi karena sampai berlaku itu belum siap. Semua serba terburu-buru," ujar Ahmad kepada Tempo, Kamis 17 Oktober 2019.

Ahmad juga mengatakan belum ada sosialisasi kepada  masyarakat luas. Dengan adanya kekurangan instrumen ini, Ahmad khawatir akan terjadi kekacauan di tengah masyarakat –main hakim sendiri misalnya, karena kurangnya sosialisasi. Selain sosialisai, Ahmad menilai upaya lain untuk mengakomodasi UU tersebut adalah penerbitan peraturan pemerintah pengganti undang-undang (perpu) sampai semua instrumen siap.

Rabu lalu, Kementerian Agama melakukan penandatanganan nota kesepahaman penyelenggaraan layanan sertifikasi halal (PLSH) bersama 11 kementerian dan lembaga pemerintah. Setelah penandatanganan itu, Menteri Agama Lukman Hakim Saifuddin mengatakan pemerintah masih terus melengkapi instrumen hingga lima tahun ke depan. Lukman berkukuh, 17 Oktober itu pertanda dimulainya sertifikasi, bukan diwajibkan sertifikasi halal.

“Kewajiban itu baru dilakukan setelah lima tahun dilalui. Jadi, ada tahapan khusus untuk produk makanan dan minuman, serta yang terkait dengan produk itu. Baru setelahnya ada pendekatan hukum,” ujar Lukman.

Kepala Pusat Registrasi dan Sertifikasi BPJPH Mastuki menuturkan PMA tentang jaminan produk halal sudah disiapkan, yaitu tertuang dalam PMA Nomor 26 Tahun 2019. Namun, PMA tersebut masih dalam proses di Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia (Kemenkumham). “Dari kementerian sudah ditandatangani. Kami masih menunggu pengundangan oleh Kemenkumham,” ujar Mastuki.

Mastuki menuturkan saat ini pendaftaran sertifikasi halal sudah bisa dilakukan di Kantor Wilayah Kemenag. Berdasarkan UU 33/2014 Pasal 61, fungsi LPH bisa dijalankan oleh Lembaga Pengkajian Pangan, Obat-obatan, dan Kosmetika Majelis Ulama Indonesia (LPPOM MUI). Adapun LPH merupakan lembaga yang bertugas pemeriksaan dan atau pengujian terhadap kehalalan produk. Lembaga ini bisa didirikan oleh pemerintah, lembaga, perguruan tinggi, atau organisasi keagamaan. “Kami juga segera menyetujui LPH yang memenuhi syarat,” tutur Mastuki.

Direktur Eksekutif Indonesia Halal Watch Ikhsan Abdullah menuturkan UU JPH tidak bisa begitu saja diterapkan tanpa ada PMA. Menurut dia, kedudukan PMA sangat penting sebagai landasan hukum untuk menjalankan suatu perundangan. Nota kesepahaman, kata dia, tidak dapat disandarkan pada ketentuan yang belum ada. “Belum diundangkannya Permenag menunjukkan kompleksitas persoalan yang berkaitan dengan penyelenggaraan sertifikasi halal,” tutur Ikhsan.

Apabila instrumen tersebut belum siap dalam waktu pelaksanaan, Ahmad menilai seharusnya UU tersebut dijalankan harus dengan perpu. Apalagi, dalam pasal 67disebutkan bahwa kewajiban bersertifikat halal mulai berlaku 5 tahun sejak aturan tersebut diundangkan pada 2014. Menurut dia, Perpu ini bisa menyempurnakan pasal 67 untuk memperpanjang waktu dimulainya kewajiban halal. “Sehingga ada landasannya. Persoalannya, ini sudah lewat lima tahun dan belum bisa berjalan dengan baik. Ini juga berpotensi maladministrasi dan tidak sejalan dengan good governance,” tutur Iksan.

Wakil Ketua Umum Gabungan Pengusaha Makanan dan Minuman Seluruh Indonesia (GAPMMI) Rachmat Hidayat menuturkan sebagian besar industri besar dan menengah sudah melakukan sertifikasi halal. Namun, masih ada sekitar 1,6 juta pelaku usaha mikro, kecil, dan menengah (UMKM) yang belum siap untuk menjalankan UU JPH. Rachmat berharap pemerintah secara intensif memantau pelaksaan di lapangan, membantu subsidi biaya sertifikasi, dan membantu kapabilitas UMKM. “Karena sertifikasi  halal menuntut pemenuhan kaidah keamanan pangan,” tutur Rachmat.

close

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Logo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus