TEMPO.CO, Jakarta - Ekonom Center of Reform on Economics (CORE) Piter Abdullah mengatakan beberapa upaya yang perlu dilakukan untuk menekan defisit transaksi berjalan.
Baca: BI: Defisit Transaksi Berjalan Melebar Jadi 3,37 Persen dari PDB
"Kalau kita mau belajar dari Thailand dan Singapura kita bisa memperbaiki current acount dengan tidak hanya fokus ke neraca perdagangan barang saja. Artinya bukan hanya fokus menaikkan ekspor," kata Piter saat dihubungi, Ahad, 11 November 2018.
Menurut Piter, menaikkan ekspor butuh kebijakan jangka panjang dan harus holistik melibatkan banyak sektor dan lembaga. Menurut Piter, tidak mungkin menaikkan ekspor, tanpa memperbaiki produktivitas, efisiensi, dan juga birokrasi.
Sementara, kata Piter, struktur balance of payment atau neraca pembayaran Indonesia menunjukkan masalah utama yang tidak hanya di ekspor impor barang. "Kita justru bermasalah di neraca jasa dan neraca pendapatan primer. Kenapa kita tidak juga fokus ke sini?," ujar Piter.
Menurut Piter, Thailand memiliki transaksi berjalan yang positif, karena kunjungan wisman yang sangat tinggi atau sekitar 25 juta wisman per tahun. Sedangkan, kata Piter, Indonesia 13 juta wisman per tahun. Dengan wisman yang begitu besar, kata Piter neraca jasa Thailand mengalami surplus yang sangat besar dan menjadikan transaksi berjalan surplus besar dan stabil.
Singapura, kata Piter menjadikan dirinya hub perdagangan di ASEAN. Dengan posisi ini singapura menguasai jasa transportasi laut untuk ekspor impor. "Indonesia bisa memperbaiki CAD dengan fokus pada pariwisata dan transportasi laut atau industri pelayaran," kata Piter.
Ekonom Bank Permata, Josua Pardede secara umum, defisit transaksi berjalan masih manageable dalam jangka pendek, namun pemerintah perlu mengeluarkan langkah kebijakan untuk meningkatkan ekspor produk manufaktur dengan memperkuat industri pengolahan dalam negeri.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
"Sehingga defisit transaksi berjalan dapat dikendalikan meskipun aktivitas ekonomi domestik baik konsumsi dan investasi cenderung meningkat kedepannya," kata Josua.
Menurut Josua kebijakan struktural diperlukan mengingat risiko pelebaran defisit transaksi berjalan juga mempengaruhi penurunan surplus neraca finansial yang juga masih dipengaruhi oleh faktor risiko eksternal. Faktor risiko eksternal itu, kata Josua, seperti normalisasi kebijakan moneter global serta perang dagang antara AS dan Cina yang pada akhirnya akan mendorong defisit neraca pembayaran.
Defisit neraca pembayaran, kata Josua selanjutnya telah mendorong peningkatan volatilitas nilai tukar yang juga berpengaruh pada potensi investasi asing baik investasi portofolio dan investasi langsung di sektor riil.
"Jika dibandingkan negara Asia, CAD Indonesia merupakan salah satu yang tinggi dibandingkan defisit transaksi berjalan Filipina dan India dan bahkan dibandingkan surplus neraca transaksi berjalan Thailand dan Malaysia yang ditopang oleh kuatnya industri pariwisata dan produksi migas yang surplus," ujar Josua.
Ekonom Institute for Development of Economics and Finance (Indef) Bhima Yudhistira Adhinegara mengatakan solusinya tekan CAD dengan pengendalian impor 10 barang terbesar lewat kenaikan bea masuk dan kebijakan anti dumping. Contohnya adalah impor besi baja Cina. Menurut Bhima dari data The Indonesian Iron and Steel Industry Association (IISIA) saat ini baja impor bisa lebih murah 20-30 persen dibanding baja lokal.
Upaya selanjutnya, kata Bhima dengan memberikan insentif yang lebih besar dan jaminan kurs preferensial kepada pengusaha agar segera konversi devisa hasil ekspor (DHE) ke rupiah. Menurut Bhima juga perlu mengurangi pungutan ekspor untuk CPO.
"Minyak sawit penyumbang devisa non migas terbesar. Adanya hambatan bea masuk ke India jadi persoalan yang buat kinerja ekspor CPO tidak optimal. Jika pungutan ekspor di turunkan 30 persen maka ekspor minyak sawit diestimasi naik 4,64 persen, dari studi indef," kata Bhima.
Bhima menilai juga perlu menghapus ppn ekspor jasa 10 persen menjadi 0 persen khususnya dijasa profesional, IT, dan pariwisata. Hal itu, kata Bhima, akan membantu masuknya devisa dari sektor jasa. "Selama ini hanya 3 ekspor jasa yang dikenakan tarif 0 persen. 88 negara di dunia dari 120 negara sudah menerapkan tarif ekspor jasa 0 persen. Kalau tidak segera menyesuaikan kita akan kehilangan peluang ekspor jasa," ujar Bhima.
Simak berita tentang Defisit hanya di Tempo.co