Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Poin penting
Hasto Kristiyanto dilaporkan ke polisi setelah menjadi narasumber stasiun televisi nasional.
Wawancara Hasto di televisi adalah karya jurnalistik.
Narasumber berita tidak bisa dipidanakan.
SEKRETARIS Jenderal Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP) Hasto Kristiyanto dilaporkan ke polisi setelah menjadi narasumber di dua stasiun televisi nasional. Dalam acara itu, Hasto menyampaikan kritik perihal kondisi sosial politik di Indonesia saat Pemilu 2024.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Pernyataan Hasto inilah yang kemudian menjadi dasar pelaporan ke Polda Metro Jaya pada 26 dan 31 Maret 2024. Pelapor bernama Hendra dan Bayu Setiawan. Laporan itu dibuat hanya selisih satu-dua minggu setelah penayangan wawancara tersebut.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Dewan Pers menyatakan wawancara Hasto di stasiun televisi itu adalah karya jurnalistik. Sehingga tidak tepat mempidanakan Hasto atas perkataannya. Wakil Ketua Dewan Pers Muhamad Agung Dharmajaya mengatakan, bagi pihak yang dirugikan dengan pernyataan Hasto, semestinya menggunakan mekanisme penyelesaian sengketa pers sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Nomor 40 Tahun 1999 tentang Pers. “Bisa dengan mekanisme menyampaikan hak jawab,” ujarnya saat dihubungi kemarin, 12 Juni 2024.
Dia menjelaskan, posisi narasumber tidak terpisahkan dari rangkaian kerja-kerja jurnalistik yang berujung pada karya jurnalistik. Apalagi Dewan Pers dengan Polri memiliki nota kesepahaman agar sengketa pers diselesaikan melalui Dewan Pers, sehingga tidak perlu menempuh jalur hukum.
Pada Pasal 5 Undang-Undang Pers dinyatakan bahwa pers nasional berkewajiban memberikan peristiwa dan opini dengan menghormati norma-norma agama dan rasa kesusilaan masyarakat serta asas praduga tak bersalah. Kemudian pers juga wajib melayani hak jawab dan hak koreksi. “Pers punya mekanisme hak jawab atau memberikan ruang wawancara berikutnya,” kata Agung.
Anggota tim hukum Sekjen PDI Perjuangan Hasto Kristiyanto, Ronny Talapessy, secara resmi melaporkan penyidik KPK, Rossa Purbo Bekti, ke Dewan Pengawas KPK di Gedung ACLC KPK, Jakarta, 11 Juni 2024. TEMPO/Imam Sukamto
Dalam kasus Hasto, Dewan Pers juga telah mengirim surat kepada Polda Metro Jaya pada 14 April 2024 agar sengketa pers diselesaikan secara etik. Agung juga telah berkomunikasi dengan penyelidik dari Subdirektorat Keamanan Negara Direktorat Reserse Kriminal Umum yang menangani laporan tersebut.
Dalam diskusi itu, kata Agung, pembahasan berkembang pada kemungkinan narasumber menyampaikan kebohongan. Bila kebohongan itu disiarkan secara elektronik, terbuka peluang untuk menjerat narasumber dengan Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE). Namun, menurut Agung, pertanggungjawaban ucapan narasumber yang dianggap bohong tetap melekat pada media atau perusahaan pers yang menyiarkan.
Menurut Agung, untuk menguji pernyataan narasumber yang dianggap bohong, memerlukan waktu panjang. Namun setidaknya pihak yang dirugikan bisa memberi tanggapan atas pernyataan awal yang sudah beredar, yaitu dengan memberi hak jawab kepada media yang memberitakan wawancara tersebut.
Dewan Pers juga terus berkomunikasi dengan Polri soal nota kesepahaman penanganan kasus sengketa pers karena masih ada kasus yang tetap diproses secara hukum. “Ini butuh upaya besar untuk duduk bersama,” katanya. “Dewan Pers sudah roadshow di beberapa daerah untuk memberikan pemahaman kepada lingkup internal Polri,” tuturnya.
Dalam kasus Hasto, politikus PDIP itu telah memberikan klarifikasi kepada kepolisian pada 4 Juni 2024. Dia menyatakan taat pada proses hukum yang sedang berjalan. Hasto juga menyampaikan niat akan berkonsultasi ke Dewan Pers soal laporan itu. Dia tidak merasa menghasut maupun menyebarkan informasi elektronik yang memuat pemberitaan bohong sebagaimana yang dituduhkan oleh pelapor. “Apakah itu ada berita hoaks yang menimbulkan kerusuhan, di mana kerusuhannya? Masak kritik enggak boleh?” ucap Hasto, 8 Juni 2024.
Kriminalisasi yang berawal dari karya jurnalistik pernah terjadi pada Mohammad Amrullah. Ketika itu, dia menjadi narasumber pemberitaan dalam aksi mogok makan di Makam Pahlawan, Banyuwangi, Jawa Timur, pada 14 April 2016. Adapun mogok makan itu digelar untuk menolak keberadaan tambang emas PT BSI. Sebab, sungai tercemar merkuri akibat aktivitas penambangan. Kondisi itu mengancam 200 keluarga yang tinggal di sepanjang aliran sungai.
Setelah hasil wawancara itu dipublikasikan, pihak PT BSI melaporkan Amrullah ke Polres Banyuwangi. Laporan ini diproses dan berujung pada persidangan. Dalam sistem informasi penelusuran perkara Pengadilan Negeri Banyuwangi diketahui bahwa jaksa menuntut Amrullah 2 tahun penjara dan denda Rp 3 juta subsider 4 bulan kurungan pada 5 April 2018. Kemudian hakim menyatakan Amrullah bersalah, lalu menjatuhkan hukuman 6 bulan penjara dan denda Rp 1,5 juta subsider 2 bulan kurungan.
Anggota tim hukum Sekjen PDI Perjuangan Hasto Kristiyanto, Ronny Talapessy, secara resmi melaporkan penyidik KPK, Rossa Purbo Bekti, ke Dewan Pengawas KPK di Gedung ACLC KPK, Jakarta, 11 Juni 2024. TEMPO/Imam Sukamto
Amrullah pun mengajukan permohonan banding. Namun hakim Pengadilan Tinggi Surabaya tetap menguatkan putusan Pengadilan Negeri Banyuwangi itu pada 14 Agustus 2018. Nasib Amrullah berubah setelah ada putusan kasasi dari Mahkamah Agung pada 25 April 2019. Hakim kasasi membebaskan Amrullah atas segala dakwaan.
Nasib serupa dialami oleh Kosala Limbang Jaya saat menjadi narasumber majalah Tempo dengan judul pemberitaan “Buntu di Pom Bensin Yonzipur” edisi 20 Februari 2021. Dia dilaporkan pada 15 Maret 2021 setelah mengungkap dugaan perampasan SPBU Nomor 54.671.08 yang diduga dilakukan oleh Komandan Batalion Zeni Tempur 10/JP Kostrad Pasuruan (periode 2019-2021).
Kosala Limbang Jaya dipanggil Polres Kota Pasuruan sebagai saksi terlapor pada 4 November 2023 dan 9 November 2023. Namun Polres Kota Pasuruan telah menaikkan status kasus ini ke tahap penyidikan pada 25 Oktober 2023. Dewan Pers pun menyatakan kasus ini bukan ranah pidana.
Direktur Eksekutif Lembaga Bantuan Hukum Pers Ade Wahyudin menganggap berbahaya apabila narasumber pemberitaan justru dipidanakan. Dampak yang ditimbulkan adalah orang-orang menjadi takut menyatakan pendapat di media massa, padahal sudah dijamin kebebasannya melalui undang-undang.
Selain itu, kerugian akan dirasakan oleh publik karena tidak mendapatkan informasi secara utuh atas suatu peristiwa. Posisi narasumber pun menjadi rentan dikriminalkan karena mengungkap fakta di lapangan yang didasarkan pada pengamatan dan pengalaman. “Nanti tidak ada lagi orang-orang yang kritis berbicara di media,” ucap Ade.
Dalam kasus Hasto Kristiyanto, Ade melihat potensi politisasi juga ada karena profil orang tersebut sebagai petinggi partai politik besar di Indonesia. Namun penilaian sengketa pers tidak boleh melihat semata-mata dari itu. “Seorang petinggi partai politik atau dia masyarakat biasa, ya, dia harus dilindungi untuk kebebasan pers,” kata Ade Wahyudin.
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Novali Panji Nugroho dan Bagus Pribadi berkontribusi dalam laporan ini.