Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
TEMPO.CO, Banjarmasin - Bekas Kepala Dinas Pertambangan dan Energi Kabupaten Tanah Bumbu Dwidjono Putrohadi Sutopo, memberi kesaksian saat sidang lanjutan korupsi tambang dengan terdakwa bekas Bupati Mardani Maming.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Selain Dwidjono, JPU Komisi Pemberantasan Korupsi turut menghadirkan lima saksi lain di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi Banjarmasin, Kamis 1 Desember 2022.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Dwidjono telah divonis bersalah 2 tahun penjara dan denda Rp 500 juta subsider enam bulan kurungan atas suap pengalihan Izin Usaha Pertambangan atau IUP operasi produksi PT Bangun Karya Pratama Lestari (BKPL) ke PT Prolindo Cipta Nusantara (PCN).
Dwidjono mengaku mengenal Direktur Utama PT PCN, Henry Soetio, setelah dikenalkan oleh Bupati Mardani H Maming di Hotel Kempinski, Jakarta, pada Maret 2011. Pertemuan itu di sela Dwidjono dan empat anak buahnya melakukan verifikasi IUP batu bara di Direktorat Jenderal Minerba Kementerian ESDM.
"Saksi kenal Henry Soetio?" kata JPU KPK Budi Sarumpaet kepada Dwidjono.
"Dikenalkan beliau (terdakwa Mardani). Sebelumnya saya belum kenal," ujar Dwidjono.
"Pak Dwi di mana? Saya lagi di Jakarta, registrasi IUP," kata Dwidjono menirukan percapakan dengan terdakwa Mardani H Maming saat itu. Mardani meminta Dwidjono mendatangi Hotel Kempinski tanpa memberitahu alasannya.
"Pada saat menuju Kempinski ketemu terdakwa?" tanya Budi Sarumpaet.
"Beliau di situ bersama almarhum Henry Soetio," kata Dwidjono menjawab Budi.
Saat itu menurut dia, Mardani mengenalkan Henryo yang mau mengalihkan IUP tambangnya. Henry, kata dia, saat itu akan mengalihkan IUP dari BKPL ke PCN.
"Pak Mardani bilang tolong dibantu?" tanya Budi.
"Iya. Lalu saya kerja lagi lanjut sampai malam," jawab Dwidjono.
Cerita Setelah Pulang ke Batulicin
Setelah pulang ke Batulicin, Dwidjono bercerita tentang pertemuan dengan Mardani Maming dan Henry Soetio, kepada empat anak buahnya di Dinas Pertambangan dan Energi Tanah Bumbu. Empat orang ini terdiri atas Buyung, Bambang Herwandi, Eko Handoyo, dan Mulyadi.
Selanjutnya Henry memasukkan surat permohonan pengalihan IUP...
Adapun Henry Soetio memasukkan surat permohonan pengalihan IUP dari BKPL ke PCN pada 19 April 2011. Dwidjono menerima surat ini sudah di meja kerjanya.
"Apakah surat yang saksi terima diantar staf atau diantar terdakwa?" tanya Budi Sarumpaet. "Saya kurang jelas. Yang jelas sudah ada di meja," jawab Dwidjono.
Untuk memastikan siapa yang menyerahkan surat permohonan pengalihan ini, Budi Sarumpaet mengutip isi BAP saksi Dwidjono nomor 32 dan 34. Dalam BAP nomor 32, Dwidjono mengatakan bahwa surat diantar oleh staf Dinas Pertambangan dan Energi. Adapun BAP nomor 34, Dwidjono mengatakan dipanggil oleh terdakwa Mardani Maming, lalu diserahkan surat permohonan tersebut.
"34, saya dipanggil beliau lalu diserahkan surat itu. Tolong dibantu pak Dwi si Ko Henry, itu saja. Dibantu dalam proses. Setelah saya terima, saya panggil staf-staf saya. Saya sampaikan ini kok kelihatannya enggak boleh, saya ingat UU Nomor 4 Tahun 2009," kata Dwidjono.
Saat itu, ia menganggap pengalihan IUP batu bara tidak bolehkan karena menabrak ketentuan pasal 93 UU Pertambangan Mineral dan Batubara. Menurut Dwidjono, tiga stafnya juga menguatkan bahwa pengalihan IUP dilarang. Namun, untuk memastikan kebijakan tersebut, Dwidjono dan stafnya konsultasi ke Kepala Bagian Hukum Dirjen Minerba.
"Saya diamkan lama satu bulan, sekalian saya diskusi ke bagian hukum minerba. Kita konsultasikan ke bagian hukum minerba," ujarnya. Ia pun menyampaikan ke Mardani hasil konsultasi bahwa pengalihan IUP tidak dibolehkan.
"Beliau menyampaikan ke saya. Udahlah pak Dwi diproses saja. Perijinan itu suatu kebijakan, kalau salah, ijin dicabut. Saya cuma, inggih (iya)," kata Dwidjono.
Lantaran surat belum diproses, kata Dwidjono, terdakwa Mardani H Maming memanggil Buyung. Kepada Buyung, terdakwa Mardani berpesan agar Dwidjono mempercepat proses pengalihan IUP OP dari PT BKPL ke PT PCN.
Dwidjono pun membuat rekomendasi dan draft SK pengalihan IUP OP dari PT BKPL ke PT PCN. Ia mengantarkan SK ini ke kediaman Mardani untuk ditandatangani pada Juni 2011. Setelah SK diteken terdakwa Mardani, Dwidjono lekas mengontak Sekda Tanah Bumbu, Kabag Hukum Setdakab Tanah Bumbu, dan Asisten 2 Setdakab Tanah Bumbu, untuk membubuhkan paraf di kediaman Mardani H Maming.
"Surat itu diberi tanggal berapa?" tanya Budi Sarumpaet.
"16 Mei 2011," ujar Dwidjono.
"Apa alasan SK dibuat tanggal mundur?" cecar Budi kepada Dwidjono.
"Supaya dapat diajukan CNC nya (Clean and Clear) di Dirjen Minerba. Walaupun diajukan Juni 2011, menunggu dari provinsi lainnya. CNC kan bertahap, tahap satu bulan Mei," kata Dwidjono. Menurut dia, PT PCN tidak bisa menambang batu bara jika tanpa status CNC dari Dirjen Minerba.
Setelah keluar SK pengalihan IUP, Henry Soetio sering mengeluh kepada Dwidjono atas perilaku terdakwa Mardani H Maming.
"Bukan sekali almarhum (Henry Soetio) telepon saya. Selalu mengatakan itu loh bupati sampean, gini-gini, meminta sesuatu. Ada yang mengatakan nominal, saya jawab itu urusan sampean dan beliau," ujar Dwidjono menirukan percapakannya dengan almarhum Henry.
"Meminta apa? Henry Soetio menyampaikan apa tentang bupati sampean?" tanya Budi Sarumpaet.
"Menyampaikan unsur negatif. Belum menyampaikan nominal, saya potong. Ada juga menyampaikan nominalnya 10 ribu per metrik ton," kata Dwidjono.
"Permintaan itu terkait apa?" tanya Budi.
"PCN, ya mbantu lah," ujar Dwidjono.
Tim kuasa hukum terdakwa Mardani Maming sempat keberatan atas kesaksian Dwidjono yang disebut inkonsisten.
Terdakwa Mardani H Maming didakwa menerima dana sebanyak total Rp 118 miliar lewat pembayaran tunai dan transfer, setelah membantu peralihan IUP batu bara dari PT Bangun Karya Pratama Lestari (BKPL) ke PT PCN.
Mardani Maming dijerat dua pasal atas dugaan suap dan gratifikasi. Pasal 12 huruf b juncto pasal 18 UU Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Dakwaan kedua pasal 11 juncto pasal 18 UU Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.