Scroll ke bawah untuk membaca berita

Logo
Hukum

Besok, MK Putuskan Gugatan Pasal Kekerasan Psikis di UU KDRT

MK akan menggelar sidang pengujian materiil terhadap Pasal 7 UU KDRT pada Selasa, 30 Mei, pukul 09.00 WIB.

30 Mei 2022 | 15.46 WIB

Gedung Mahkamah Konstitusi di Jakarta
Perbesar
Gedung Mahkamah Konstitusi di Jakarta

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Logo

TEMPO.CO, Jakarta - Mahkamah Konstitusi (MK) akan menggelar sidang Pengujian Materiil terhadap Pasal 7 Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga alias UU KDRT pada Selasa, 30 Mei, pukul 09.00 WIB. Agendanya yaitu pengucapan putusan.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Logo

"Para pemohon meminta MK untuk menyatakan pasal 7 UU KDRT bertentangan dengan UUD 1945," demikian bunyi keterangan resmi MK, Senin, 30 Mei 2022.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Adapun pasal 7 tersebut berbunyi:

"Kekerasan psikis sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 huruf b adalah perbuatan yang mengakibatkan ketakutan, hilangnya rasa percaya diri, hilangnya kemampuan untuk bertindak, rasa tidak berdaya, dan/atau penderitaan psikis berat pada seseorang."

Lantas, para pemohon juga meminta MK menyatakan pasal ini conditionally constitutional sepanjang ditambahkan frasa “bentuk-bentuk kekerasan psikis: ada pernyataan yang dilakukan dengan umpatan, penghinaan, pelabelan negatif, atau sikap dan gaya tubuh merendahkan disertai adanya keterangan mengenai kondisi psikologis seseorang korban kekerasan psikis

Permohonan uji materiil ini teregistrasi dengan nomor perkara 41/PUU-XX/2022. Perkada diajukan oleh Sindi Enjelita Sitorus sebagai Pemohon 1 dan Hesti Br Ginting sebagai Pemohon 2. Kedua berprofesi sebagai mahasiswa.

Menurut para pemohon, pasal 7 ini tidak memberikan ketentuan yang jelas seperti apa bentuk kekerasan psikis yang dimaksud. Sehingga dapat menjadi suatu penafsiran yang akan menimbulkan perdebatan. "Selain itu hal ini akan menimbulkan kerugian secara konstitusi yang akan dialami oleh para pemohon," demikian tulis MK.

Para pemohon, dalam keterangan MK mencontohkan kasus yang dialami oleh seorang bernama Valencya, di mana dirinya ditetapkan sebagai tersangka pada 11 Januari 2021 akibat memarahi suaminya karena pulang dalam keadaan mabuk.

Valencya dilaporkan ke Polda Jawa Barat atas kasus kekerasan dalam rumah tangga psikis. Ketidakjelasan inilah yang menimbulkan kekhawatiran para pemohon apabila nantinya memiliki kasus yang sama. Bahwa, UU KDRT tidak mempunyai tolak ukur yang jelas seperti apa kekerasan psikis termasuk bentuk-bentuk kekerasan psikis ini.

Sehingga, situasi ini mengakibatkan posisi perempuan rentan untuk digugat dan kriminalisasi terhadap perempuan untuk menjadi pelaku dalam konteks kekerasan psikis. "Seperti dalam kasus contoh diatas, Valencya melakukannya bukan sebagai bentuk kesengajaan, melainkan hanya spontanitas dan tidak bermaksud untuk menyerang psikis korban," demikian argumen para pemohon.

Sedangkan dalam kasus kekerasan psikis, kata para pemohon, sesungguhnya kata-kata yang merendahkan martabat dan menghina berdampak serius apabila dilakukan secara terus menerus.

Baca: Buntut Kasus Valencya, Kejaksaan Agung Mutasi Aspidum Kejati Jawa Barat

 

Fajar Pebrianto

Meliput isu-isu hukum, korupsi, dan kriminal. Lulus dari Universitas Bakrie pada 2017. Sambil memimpin majalah kampus "Basmala", bergabung dengan Tempo sebagai wartawan magang pada 2015. Mengikuti Indo-Pacific Business Journalism and Training Forum 2019 di Thailand.

close

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Logo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus