Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
TEMPO.CO, Jakarta - Ketua Mahkamah Konstitusi Arief Hidayat menyempatkan bertemu dengan warga Indonesia saat melawat ke Austria. Pada Senin malam, 23 Maret 2015, dia mengadakan tatap muka bersama warga Indonesia di Kedutaan Besar Indonesia di Wina.
Di depan para perantau Indonesia itu, peraih gelar doktor hukum dari Universitas Diponegoro, Semarang, ini memuji hakim Sarpin Rizaldi karena membatalkan penetapan tersangka Komisaris Jenderal Budi Gunawan oleh Komisi Pemberantasan Korupsi dalam kasus dugaan pemilikan rekening gendut melalui putusan praperadilannya. Seusai acara itu, Tito Sianipar dari Tempo mewawancarai Arief untuk mengulas soal putusan Sarpin tersebut.
Anda memuji putusan hakim Sarpin?
Enggak, itu tadi kan anu, boleh saja hakim begitu.
Maksud Anda?
Boleh saja hakim menemukan hukum.
Tapi penetapan tersangka bukan obyek praperadilan dalam KUHAP?
Bukan begitu. Di Indonesia, hakim bukan corong undang-undang. Hakim bisa saja menemukan hukum.
Tapi sebagian besar kasus praperadilan terkait dengan penetapan tersangka ditolak hakim.
Bisa saja hakim berbeda pendapat. Tapi hakim yang progresif boleh saja menemukan hukum yang tidak sebagai corong undang-undang.
Salah satu pertimbangan hakim Sarpin adalah Budi Gunawan saat itu bukan penegak hukum dan penyelenggara negara...
Bagi saya, hakim boleh menemukan hukum. Terserah hakimnya bagaimana itu tergantung keyakinan hakimnya. Itu kewenangan hakimnya memutus.
Pasal 77 Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana tidak mengatur soal penetapan tersangka. Hanya penangkapan, penahanan...
Iya, pasal 77 memang begitu. Kemudian hakim itu berpendapat dan menemukan hukum, boleh saja.
Tapi, dalam konteks Budi Gunawan, apa yang dilanggar?
Praperadilan itu hanya mekanisme kontrol terhadap proses penyidikan. Kalau sudah dikatakan begitu, KPK sekarang sebaiknya mulailah penelitian kembali, penyidikan kembali berdasarkan norma yang ada. Kalau KPK yakin itu masih ada, lakukan penelitian dan penyidikan lagi.
Kalau menempuh jalur hukum atas putusan Sarpin, misalnya PK?
Upaya hukum itu lakukan saja. Masalahnya, kalau KPK tidak (melakukan), berarti mengakui (putusan) itu dan menerima. Di situ problemnya. Sekarang harus ada upaya hukum. Kalau ada novum, bisa PK.
(*)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini