Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
TEMPO.CO, Jakarta - Kepolisian Negara Republik Indonesia (Polri) sedang melakukan operasi besar-besaran untuk memberantas aksi premanisme. Operasi tersebut mencakup penangkapan pelaku, pembinaan, dan penyidikan kasus. Menurut sosiolog, pemberantasan premanisme butuh solusi yang lebih besar: kemauan politik dari pimpinan negara.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Sosiolog Universitas Negeri Jakarta (UNJ) Asep Suryana mengatakan aparat negara memiliki peran dalam menciptakan premanisme terorganisasi. Wujudnya seperti aksi premanisme yang dilakukan atas nama organisasi kemasyarakatan (ormas). Oleh karena itu, pemberantasannya membutuhkan peran negara pula. “Itu harus ada kemauan politik dari pimpinan negara,” kata Asep lewat sambungan telepon, Sabtu, 17 Mei 2025.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Jika dilihat dari sudut politik, ia berkata, memelihara premanisme terorganisasi menjadi efisien bagi aparat negara. Asep mengamati, pemeliharaan tersebut bermanfaat bagi kekuasaan.
Menurut dia, dalam memberantas premanisme, aparat penegak hukum juga perlu memberi kepastian hukum di tingkat akar rumput. Ia berujar, aparat penegak hukum tidak boleh memberi ruang bagi keberadaan jasa pengamanan ilegal. Contohnya, polisilah yang harus menjamin keamanan bisnis-bisnis lokal, alih-alih kelompok pengamanan atas nama ormas.
“Ruangnya dipersempit. Ruangnya kan luas sekarang nih. Bahkan kalau bisa ditiadakan,” kata Asep.
Ahli kriminologi Universitas Indonesia (UI), Adrianus Meliala, menilai premanisme sudah mengakar dalam budaya Indonesia. Antropolog Koentjaraningrat menggambarkan premanisme sebagai “budaya menerabas” atau “main jalan pintas”.
Budaya tersebut kemudian menjadi komoditas ketika ada kalangan masyarakat yang menggunakan jasa preman. Dari sanalah preman memperoleh ‘pekerjaan’.
“Saat bermetamorfosis menjadi ormas, preman sudah jadi premanisme,” kata Adrianus. “Anggota ormas itu memang sudah merasa menjaga tanah, menjaga pengusaha atau bahkan terlibat dalam kejahatan adalah kerjaannya. Jadi ada semacam legitimasi.”
Adapun operasi anti-premanisme oleh Polri telah berlangsung dari 9 Mei sampai dengan 23 Mei 2025. Di area Jakarta saja, per 16 Mei 2025, Polda Metro Jaya mengaku telah menangkap 1.197 orang yang diduga terlibat aksi premanisme. Dari jumlah tersebut, 125 orang telah memasuki tahap penyidikan, sementara sisanya akan mendapatkan pembinaan dan pengawasan. Di antara semuanya, tindak pidana pemerasan menjadi yang terbanyak dengan 626 kasus.
Kabid Humas Polda Metro Jaya Kombes Ade Ary Syam Indradi mengatakan mereka bersama jajaran kepolisian lain juga telah mencopot atribut ormas di berbagai wilayah Jakarta. “Saya tidak usah sebut nama ormasnya, karena ini oknum,” kata Ade.