Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Politik

3 RUU dalam Sorotan Publik: RUU Penyiaran, RUU MK, dan RUU Kementerian Negara

Dalam waktu berdekatan tiga RUU DPR mendapat sorotan publik yaitu RUU Penyiaran, RUU MK, dan RUU Kementerian Negara. Apa sebabnya?

18 Mei 2024 | 19.01 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

TEMPO.CO, Jakarta - Selain menjalankan tugas dan fungsinya DPR juga memiliki sejumlah hak istimewa sebagai lembaga legislatif. Salah satunya ialah hak untuk mengajukan usul rancangan undang-undang (RUU). Namun, belakangan rancangan undang-undang yang diusulkan DPR kerap kali mendapat kritikan publik. Termasuk tiga di antaranya  RUU Mahkamah Konstitusi, RUU Kementerian Negara dan RUU Penyiaran.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

1. RUU Mahkamah Konstitusi (RUU MK)

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Pemerintah dan Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia (DPR RI) telah menyepakati rancangan Undang-undang tentang Perubahan Keempat atas UU Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi atau RUU MK. Pembahasan RUU MK tersebut digelar diam-diam digelar pada hari terakhir reses atau Senin,13 Mei 2024. Pengesahan revisi UU MK di tahap I ini menimbulkan polemik. Sebab, dianggap bisa melemahkan independensi MK.

Ketua Majelis Kehormatan MK I Dewa Gede Palguna

Ketua Majelis Kehormatan Mahkamah Konstitusi atau Ketua MKMK I Dewa Gede Palguna, turut menyoroti revisi UU MK yang dibahas di DPR. Palguna mengaku tak habis pikir karena revisi UU MK itu dibahas diam-diam saat masa reses. Hal ini, kata mantan Hakim MK itu dalam diskusi ‘Sembunyi-sembunyi Revisi UU MK Lagi’, patut dipertanyakan lantaran tak semua anggota DPR mengetahui, terlebih banyak pula yang masih di luar negeri.

Palguna juga menyoroti revisi UU MK Pasal 23 Ayat 1 yang membatasi masa jabatan hakim konstitusi selama 10 tahun. Dia menilai, revisi ini sudah jelas bisa memengaruhi independensi hakim MK. Bahkan, kata dia, pengaruh itu sudah bisa dipahami oleh masyarakat awam tanpa perlu menjadi sarjana hukum terlebih dahulu. “Enggak perlu jadi sarjana hukum sudah tahulah itu bisa mempengaruhi independensi hakim konstitusi,” kata Palguna.

Mantan Ketua MK Hamdan Zoelva

Mantan Ketua MK, Hamdan Zoelva, menyoroti revisi keempat UU Nomor 24 Tahun 2003 tentang MK. Menurut dia, revisi UU MK tak hanya menjadi ancaman bagi independensi lembaga peradilan, namun ancaman yang sangat serius bagi Indonesia sebagai negara hukum.

Melalui revisi terbaru, Hamdan menilai, hakim MK akan bergantung pada lembaga pengusul. Pasalnya, dalam revisi UU MK terbaru, masa jabatan hakim MK maksimal 10 tahun. Namun, setelah menjalani lima tahun pertama, hakim MK perlu mendapatkan persetujuan untuk menjalani lima tahun berikutnya dari lembaga pengusul. Ini menunjukkan bahwa posisi hakim menjadi sangat tergantung pada lembaga pengusul.

Mantan Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum, dan Keamanan (Menko Polhukam) Mahfud Md 

Mahfud MD mengatakan perubahan revisi UU MK  dinilai mengganggu independensi hakim. RUU MK ini sebelumnya juga telah ditolak Mahfud Md selaku Menkopolhukam, saat mewakili Pemerintah periode 2019-2023 di DPR.

“Banyak itu yang saya blok, tapi yang terakhir itu UU MK, tidak ada di Prolegnas, tidak ada di apa, masuk, dibahas. Itu saya tolak ketika saya ditunjuk untuk menghadapi, mewakili pemerintah, saya bilang coret, dead lock, tidak ada perubahan UU menjelang begini,” ujar mantan calon wakil presiden nomor urut 03 itu.

Pusat Studi Hukum dan Kebijakan 

PSHK mengungkapkan ada 5 persoalan prosedural dalam rancangan perubahan RUU MK tersebut yaitu perencanaan perubahaan UU  yang tidak terdaftar dalam Program Legilasi Nasional 2020-2024. Kedua pembahasan dilakukan tertutup dan tergesa-gesa. Ketiga menutup kanal partisipasi public terhadap dokumen RUU. Keempat pembahasa berada di masa lame duck atau masa transisi menuju pemerintahan periode baru, dan kelima pembahasan revisi UU dilakukan di masa reses bukan di masa sidang.

Selanjutnya: Polemik RUU Kementerian Negara

2. RUU Kementerian Negara 

DPR RI menyepakati Rancangan Undang-Undang  Kementerian Negara menjadi usul inisiatif DPR dalam Rapat pleno Badan Legislasi  (Baleg) di Gedung DPR RI, Senayan, Jakarta pada Kamis, 16 Mei 2024. Adapun yang diajukan perubahan ialah Undang-undang Nomor 39 tahun 2008 yang mengatur tentang menteri kabinet dan menghapus jumlah angka 34.

Sebelum diputuskan  RUU Kementerian Negara, juga mendapat kritik dari MK karna dianggap bertentangan dengan UUD 1945. Melalui putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 79/PUU-IX/2011 menyatakan pasal jumlah kementerian bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat. MK juga menyatakan Pasal 10 undang-undang tersebut mengenai pengangkatan wakil menteri bertentangan dengan UUD 1945. Selain itu, tim ahli juga memasukkan usulan agar Pasal 15 tentang jumlah menteri pun direvisi.

Ketua Baleg DPR Supratman Andi Agtas mengatakan sembilan fraksi di Baleg DPR menyetujui draf RUU Kementerian Negara menjadi usul inisiatif DPR. Namun ada 2 fraksi yakni dari Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP) dan Fraksi Partai Keadilan Sejahtera (PKS) yang memberikan persetujuan dengan syarat.

Anggota Baleg DPR dari Fraksi PDIP, Putra Nababan, mengatakan dalam penyelenggaraan pemerintahan aturan tentang jumlah kementerian harus memperhatikan efektivitas dan efisiensi, serta prinsip-prinsip tata kelola pemerintahan yang baik.

Alasannya, kata Putra, negara memiliki sumber daya yang terbatas sehingga RUU ini perlu diiringi dengan pemantauan dan peninjauan oleh DPR sebagai bentuk checks and balances antara lembaga kekuasaan eksekutif dan legislatif. "Kami meminta pengaturan jumlah kementerian tidak membebani keuangan negara," kata Putra. 

Adapun dari fraksi  PKS menyetujui RUU ini sebagai usul inisiatif DPR dengan sejumlah catatan. "Kami usulkan tidak hanya efektivitas pada draft ini, namun juga efisiensi," kata Anggota Baleg DPR dari Fraksi PKS, Al Muzzammil Yusuf, Kamis, 16 Mei 2024.

Menurutnya kata efisiensi yang mereka ajukan untuk ditambahkan pada pasal 12 hingga 14 UU Kemeneterian Negara dapat mengimbangi kebutuhan presiden dalam menentukan jumlah kementeriannya. 

Selanjutnya: Protes keras komunitas pers terhadap RUU Penyiaran

3. RUU Penyiaran

Revisi Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2002 tentang Penyiaran atau RUU Penyiaran menuai polemik. Draf yang saat ini dibuat dalam proses harmonisasi di Badan Legislasi (Baleg) DPR RI tersebut dianggap dapat menghambat kebebasan pers di Indonesia. Sejumlah pihak menyatakan penolakan terhadap RUU tersebut

Sekretaris Jenderal Aliansi Jurnalis Independen atau AJI

Sekretaris Jenderal Aliansi Jurnalis Independen atau AJI, Bayu Wardhana, meminta agar DPR menghapus pasal-pasal bermasalah. Bayu mengatakan DPR mestinya menjadikan UU Nomor 40 Tahun 1999 tentang Pers sebagai rujukan utama  akan tetapi, draf RUU Penyiaran tidak tidak mencantumkan UU Pers sama sekali.

Ketua Komisi Pengaduan dan Penegakan Etika Dewan Pers

Ketua Komisi Pengaduan dan Penegakan Etika Dewan Pers, Yadi Hendriana, turut membenarkan bahwa larangan untuk menyebarkan konten eksklusif jurnalisme yang dibunyikan dalam draft RUU Penyiaran tidak akan berdampak buruk terhadap pers di Indonesia dan hal tersebut juga tidak sesuai dengan UU Pers. “Ini tidak ada pada dasarnya dan justru akan memberangus pers,” kata Yadi saat dihubungi Tempo, Sabtu, 11 Mei 2024.

Mantan Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum dan Keamanan

Mantan Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum, dan Keamanan Mahfud Md tak sepakat dengan draf RUU Penyiaran . Mahfud mengatakan revisi yang berpotensi melarang produk jurnalistik investigasi itu adalah suatu kekeliruan. Sebab, katanya, tugas jurnalis justru melakukan investigasi.

Kepala Pusat Penerangan Hukum Kejaksaan Agung

Kepala Pusat Penerangan Hukum Kejaksaan Agung, Ketut Sumedana, mengatakan jurnalisme investigasi justru membantu pengungkapan kasus hukum dan Kejaksaan. Ia mengatakan investigasi media sudah ada sejak dulu serta menjadi bagian dari demokrasi.

Komisioner Komisi Pemberantasan Korupsi

Selain itu, Komisioner Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) Alexander Marwata menyampaikan pentingnya investigasi jurnalisme di tengah apatisme masyarakat terhadap penegakan hukum.

Penolakan terhadap RUU Penyiaran juga terjadi di Kota Malang. Puluhan jurnalis berunjukrasa menolak RUU Penyiaran di gedung Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) Kota Malang pada Jumat, 17 Mei 2024. Aksi dimulai dengan berjalan mundur dari depan Balai Kota Malang ke gedung DPRD Kota Malang. Jurnalis terdiri atas jurnalis anggota AJI Malang, PWI Perwakilan Malang Raya, IJTI Koordinator Daerah Malang dan PFI Malang

TIARA JUWITA  | ANDI ADAM FATURAHMAN | HENDRIK KHORUL MUFID 

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus