Scroll ke bawah untuk membaca berita

Logo
Politik

Masuk Prolegnas, Ini Pasal-pasal Krusial di RUU Penghapusan Kekerasan Seksual

Seluruh anggota Baleg DPR RI menyatakan setuju perubahan Prolegnas Prioritas 2021 dan Prolegnas 2020-2024 diantaranya masuknya RUU PKS.

10 Maret 2021 | 04.08 WIB

Sejumlah aktivis yang tergabung dalam Aliansi Gerakan Anti Kekerasan (Gerak) Perempuan membentangkan poster saat menggelar aksi perdana Selasa-an di depan Gedung MPR/DPR/DPD, Jakarta, Selasa, 7 Juli 2020. Dalam aksi tersebut mereka menolak pencabutan RUU Penghapusan Kekerasan Seksual (PKS) dari Program Legislasi Nasional (Prolegnas) Prioritas 2020. TEMPO/M Taufan Rengganis
Perbesar
Sejumlah aktivis yang tergabung dalam Aliansi Gerakan Anti Kekerasan (Gerak) Perempuan membentangkan poster saat menggelar aksi perdana Selasa-an di depan Gedung MPR/DPR/DPD, Jakarta, Selasa, 7 Juli 2020. Dalam aksi tersebut mereka menolak pencabutan RUU Penghapusan Kekerasan Seksual (PKS) dari Program Legislasi Nasional (Prolegnas) Prioritas 2020. TEMPO/M Taufan Rengganis

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Logo

Jakarta - Rapat Kerja Badan Legislasi DPR RI, pemerintah, dan Panitia Perancang Undang-Undang (PPUU) DPD RI menyepakati perubahan daftar rancangan undang-undang yang masuk Program Legislasi Nasional atau Prolegnas Prioritas 2021 dan Prolegnas 2020—2024.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Logo

Salah satunya adalah RUU tentang Penghapusan Kekerasan Seksual atau RUU PKS. "Apakah perubahan Prolegnas Prioritas 2021 dan Prolegnas 2020—2024 bisa disetujui," kata Ketua Baleg DPR RI Supratman Andi Agtas dalam Raker Baleg bersama pemerintah dan DPD RI di kompleks MPR/DPR/DPD RI, Jakarta, Selasa, 9 Maret 2021.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Lalu seluruh anggota Baleg DPR RI menyatakan setuju perubahan Prolegnas Prioritas 2021 dan Prolegnas 2020—2024.

RUU PKS merupakan program prioritas legislasi nasional sejak tahun 2014 namun pembahasannya kerap mengalami tarik ulur dan mangkrak di Komisi VIII. Padahal, angka kekerasan seksual di Indonesia memprihatinkan.

Komnas Perempuan mengidentifikasi adanya 15 jenis kekerasan seksual yang terjadi dalam beragam konteks. Dari 15, hanya 9 jenis kekerasan seksual yang dikategorikan tindak pidana. Enam jenis lainnya tidak mempunyai unsur subyektif dan obyektif sebagaimana disyaratkan dalam pengaturan kriminalisasi hukum pidana.

Berikut pasal krusial versi Komnas Perempuan dan masyarakat sipil yang dilansir dari draf RUU PKS.

1. Pasal 12 ayat (1)
Pasal ini mengatur definisi pelecehan seksual adalah kekerasan seksual yang dilakukan dalam bentuk tindakan fisik atau non-fisik kepada orang lain, yang berhubungan dengan bagian tubuh seseorang dan terkait hasrat seksual, sehingga mengakibatkan orang lain terintimidasi, terhina, direndahkan, atau dipermalukan.

2. Pasal 13
Mengatur definisi eksploitasi seksual sebagai kekerasan seksual yang dilakukan dalam bentuk kekerasan, ancaman kekerasan, tipu daya, rangkaian kebohongan, nama atau identitas atau martabat palsu, atau penyalahgunaan kepercayaan, agar seseorang melakukan hubungan seksual dengannya atau orang lain dan/atau perbuatan yang memanfaatkan tubuh orang tersebut yang terkait hasrat seksual, dengan maksud menguntungkan diri sendiri atau orang lain.

3. Pasal 14
Mengatur definisi pemaksaan kontrasepsi, yaitu kekerasan seksual yang dilakukan dalam bentuk mengatur, menghentikan dan/atau merusak organ, fungsi dan/atau sistem reproduksi biologis orang lain, dengan kekerasan, ancaman kekerasan, tipu muslihat, rangkaian kebohongan, atau penyalahgunaan kekuasaan, sehingga orang tersebut kehilangan kontrol terhadap organ, fungsi dan/atau sistem reproduksinya yang mengakibatkan korban tidak dapat memiliki keturunan.

4. Pasal 15
Mengatur definisi pemaksaan aborsi, yaitu kekerasan seksual yang dilakukan dalam bentuk memaksa orang lain untuk melakukan aborsi dengan kekerasan, ancaman kekerasan, tipu
muslihat, rangkaian kebohongan, penyalahgunaan kekuasaan, atau menggunakan kondisi seseorang yang tidak mampu memberikan persetujuan.

5. Pasal 16
Mengatur definisi perkosaan, yaitu kekerasan Seksual yang dilakukan dalam bentuk kekerasan, ancaman kekerasan, atau tipu muslihat, atau menggunakan kondisi seseorang yang tidak mampu memberikan persetujuan untuk melakukan hubungan seksual.

6. Pasal 17
Mengatur definisi pemaksaan perkawinan, yaitu kekerasan seksual yang dilakukan dalam bentuk menyalahgunakan kekuasaan dengan kekerasan, ancaman kekerasan, tipu muslihat, rangkaian kebohongan, atau tekanan psikis lainnya sehingga seseorang tidak dapat memberikan persetujuan yang sesungguhnya untuk melakukan perkawinan.

7. Pasal 18
Pasal ini mengatur definisi pemaksaan pelacuran sebagai kekerasan seksual yang dilakukan dalam bentuk kekerasan, ancaman kekerasan, rangkaian kebohongan, nama, identitas, atau martabat palsu, atau penyalahgunaan kepercayaan, melacurkan seseorang dengan maksud menguntungkan diri sendiri dan/atau orang lain.

8. Pasal 19
Pasal ini mengatur definisi perbudakan seksual sebagai kekerasan seksual yang dilakukan dalam bentuk membatasi ruang gerak atau mencabut kebebasan seseorang, dengan tujuan menempatkan orang tersebut melayani kebutuhan seksual dirinya sendiri atau orang lain dalam jangka waktu tertentu.

9. Pasal 20
Mengatur definisi penyiksaan seksual, yaitu kekerasan seksual yang dilakukan dalam bentuk menyiksa korban.

10. Pasal 24
Pasal ini mengatur hak atas penanganan korban yang meliputi hak-hak atas informasi, mendapatkan dokumen penanganan, pendampingan dan bantuan hukum, penguatan psikologis, pelayanan kesehatan (pemeriksaan, tindakan dan perawatan medis) serta hak mendapatkan layanan dan fasilitas yang sesuai dengan kebutuhan khusus korban.

Baca juga : DPR dan Pemerintah Setuju Keluarkan RUU Pemilu dari Prolegnas 2021

Pasal 24 juga mengatur penyelenggaraan visum et repertum, surat keterangan pemeriksaan psikologis dan surat keterangan psikiater; juga pemantauan secara berkala terhadap kondisi korban.

11. Pasal 25
Pasal ini mengatur pelaksanaan hak korban atas perlindungan diselenggarakan aparat penegak hukum. Kemudian dalam keadaan tertentu, korban dapat meminta perlindungan Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK).

12. Pasal 26
Pasal ini mengatur hak korban atas pemulihan yang meliputi fisik, psikologis, ekonomi, sosial dan budaya, dan ganti kerugian. Secara rinci, pelaksanaan hak pemulihan ini diatur dari Pasal 27 hingga Pasal 32.

13. Pasal 44
RUU PKS mengatur pembuktian yang memberikan kemudahan bagi korban untuk mendapatkan akses keadilan. Pada ayat (2), alat bukti lain yang diatur meliputi surat keterangan psikolog dan/atau psikiater, rekam medis dan/atau hasil pemeriksaan forensik, rekaman pemeriksaan dalam proses penyidikan, informasi yang diucapkan, dikirim, diterima atau disimpan secara
elektronik dengan alat optik atau yang serupa dengan itu, dokumen, dan hasil pemeriksaan rekening bank.

14. Pasal 45 ayat (1)
Pasal ini menyebut bahwa keterangan seorang korban sudah cukup untuk membuktikan bahwa terdakwa bersalah apabila disertai dengan satu alat bukti lainnya.

Demikian pasal-pasal krusial dalam RUU PKS yang kini masuk prolegnas.

FRISKI RIANA

Friski Riana

Lulus dari Fakultas Ilmu Komunikasi Universitas Mercu Buana pada 2013. Bergabung dengan Tempo pada 2015 di desk hukum. Kini menulis untuk desk jeda yang mencakup isu gaya hidup, hobi, dan tren. Pernah terlibat dalam proyek liputan Round Earth Media dari International Women’s Media Foundation dan menulis tentang tantangan berkarier para difabel.

close

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Logo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus