Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
TEMPO.CO, Jakarta - Orang tua terkadang sulit menerima jika anak mereka tuli. Akibatnya, mereka memperlakukan anak seperti non-difabel. Padahal anak tersebut membutuhkan perlakuan yang berbeda, namun bukan berarti dibedakan dengan anak-anak lainnya.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Pendiri dan Ketua Handai Tuli Indonesia, Rully Anjar mengatakan orang tua dengan anak berkebutuhan khusus, terutama tuli perlu mengubah pola pikir terhadap kondisi tuli. "Perubahan pola pikir ini penting, salah satunya dengan menganggap teman tuli setara haknya dengan teman dengar. Tidak ada yang lebih superior di antara teman dengar dengan teman tuli," kata Rully Anjar dalam diskusi daring bertema 'Menembus Dunia Tuli' pada Sabtu, 11 Juli 2020.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Rully Anjar menjelaskan, anak tuli maupun anak dengar sama-sama berhak dalam mendapatkan akses komunikasi. Pola pikir ini perlu diubah agar teman tuli dan teman dengar dapat saling membuka diri dan konsisten dalam belajar bahasa isyarat, serta bergabung dan mempelajari budaya tuli itu sendiri.
Seorang ibu dari anak tuli, Iies Arum Wardhani mengibaratkan pola pikir sebagai gerbang utama untuk terbuka kepada kondisi anak dan kebutuhan khususnya. Dengan sudut pandang yang tepat, orang tua dari anak tuli akan mampu memahami, mengarahkan, dan mengembangkan potensi buah hati mereka.
"Pola pikir yang sempit serta stereotype negatif pada tuli akan menghalangi orang tua dalam memahami kebutuhan komunikasi yang diperlukan," ucap Iies yang berprofesi sebagai perawat di RSUP dr. Sardjito Yogyakarta. Mindset itu juga yang membuat orang tua menyangkal kondisi anak mereka, menolak kenyataan, serta menyalahkan diri saat mengetahui anaknya terlahir tuli. "Orang tua itu suka menyangkal saat mengetahui tahu anaknya tuli. Saya juga dulu begitu."
Iies menjelaskan, orang tua menyangkal anak mereka tuli karena anaknya menengok saat dipanggil. "Lalu (orang tua) mengatakan, enggak (tuli) kok. Buktinya anak menoleh saat aku panggil namanya," ucap Iies. "Padahal, anak menolah karena merasakan getaran di dekat kulitnya."
Orang tua, Iies menambahkan, juga kerap menyalahkan dan mengasihani diri sendiri, lalu meratap kepada Tuhan. "Itu semua wajar karena saya juga pernah seperti itu setelah tahu anak saya tuli," kata Iies. Meratap dan menyalahkan diri sendiri, menurut Iies, tidak akan menunjang kemajuan anak tuli ke depannya. Yang amat disayangkan, sebagian orang tua justru memaksakan diri menjadikan anak mereka belajar seperti anak dengar, harus bisa bicara dengan bahasa tutur.
Setelah menerima keadaan dan mengubah pola pikir, Iies menyarankan para orang tua dengan anak tuli bergabung dalam komunitas tuli. Tujuannya, mendapat lebih banyak teman yang juga punya anak tuli, saling menguatkan, berbagi informasi, dan bersinergi bersama komunitas tuli demi perkembangan dan masa depan anak.
Bergabung dengan komunitas tuli dan mentor tuli juga membuka peluang orang tua untuk dapat berkonsultasi. Orang tua perlu mengetahui apa yang boleh dan tidak saat berinteraksi dengan teman tuli. Hal ini dapat mengurangi rasa canggung saat melakukan kegiatan bersama komunitas tuli. Ketika anak mampu berkomunikasi dengan bahasa isyarat, orang tua tidak perlu malu, apalagi sampai melarangnya.
"Biarkan anak menggunakan bahasa isyarat saat berbincang di tempat umum, kenapa harus malu?," ucap Iies. Orang tua, dia melanjutkan, seharusnya mengutamakan, memahami, dan fokus pada kebutuhan berkomunikasi anaknya, tidak usah mempedulikan anggapan orang lain. "Saya mengutamakan kebutuhan dan kenyamanan anak untuk bicara. Tak peduli dengan orang lain. Fokusnya adalah anak saya."
NOAH CHRISELLA